Jumat, 17 Oktober 2008

Bandung Bondowoso

Oleh:Gunawan Muhammad

BANDUNG Bondowoso menyusun batu dan menegakkan candi, beratus-ratus, sampai lewat tengah malam. Aneh, ia tak merasa lelah, tapi tiba-tiba ia dengar suara-suara pagi datang dari jauh.

Ia tak melihat warna fajar, tapi ia tahu ia telah gagal. Ia tak berhasil menyelesaikan 1.000 bangunan dalam waktu yang ditentukan.

Legenda Loro Jonggrang—yang menjelaskan asal-usul himpunan candi yang mempesona di Prambanan itu—memang sebuah cerita kegagalan.

Syahdan, Bandung Bondowoso yang menang perang berhasrat memperistrikan Jonggrang, putri mendiang Raja Baka yang telah dibunuhnya. Gadis itu ketakutan. Kerajaan ayahnya telah jatuh ke tangan kekuasaan Pengging—dan itu berarti ia bukan lagi orang yang merdeka. Tak mungkin ia menampik kehendak seorang lelaki yang kini dipertuan.

Tapi ia menemukan jalan lepas. Diajukannya syarat: ia akan mau menerima pinangan pendekar itu bila 1.000 candi ditegakkan dalam satu malam.

Bandung Bondowoso setuju.

Kesanggupan itu memang mengherankan, tapi di sini agaknya legenda Loro Jonggrang mengandung sebuah teks lain, yang ingin bercerita bahwa tiap kemenangan selalu mengandung kekalahan. Yang absolut tak ada di dunia. Di Prambanan dan di luarnya, perang tak akan cukup, pembunuhan tak pernah memadai, dan ada yang minus dalam tiap takhta.

Itu sebabnya kita tak tahu apa arti penaklukan: Loro Jonggrang ternyata bukan bagian dari benda jarahan. Ia merdeka. Ia bisa menuntut dengan satu syarat yang sulit, bahkan sebenarnya mustahil.

Bahwa Bandung Bondowoso, sang pemenang pembela Pengging, menerima syarat itu menunjukkan ada ambivalensi dalam hubungan kedua manusia itu. Lelaki itu berkuasa tapi perempuan itu terlepas dari hubungan memiliki-dan-dimiliki. Bahkan Bandung membiarkan dirinya masuk ke angan-angan Jonggrang. Orang bisa mengatakan bahwa yang diniatkan tumbuh dalam hubungan itu adalah cinta, dan cinta—dengan atau tanpa membaca kalimat Thomas Kempis pada abad ke-15—tak merasakan beban, tak berpikir tentang kesulitan. Cinta bahkan ”mencoba apa yang melebihi kekuatan diri”, dan ”tak minta dimaafkan di hadapan kemustahilan”.

Tapi bukan sikap angkuhkah yang mendorong Bandung menerima syarat itu? Katakanlah ini yang terjadi: sang perkasa yang telah berhasil membinasakan Raja Baka itu merasa malu untuk menyatakan tak sanggup membangun 1.000 candi dalam satu malam. Tapi keangkuhan dan rasa malu mengandung pengakuan bahwa ada orang lain—dan orang lain itu hadir dalam posisi untuk menilai dan menghakimi. Di sini keperkasaan juga menemui batasnya. Bandung Bondowoso tak dapat menafikan yang lain yang tegak di luar itu—yang lain yang memandang ke arahnya.

Saya bayangkan ia Loro Jonggrang. Saya bayangkan pada sebuah senja ia berkata kepada peminangnya: ”Sebenarnya saya takjub. Tuan tak memperlakukan saya sebagai jarahan perang. Bagaimana ini mungkin?”

”Ada hal yang mustahil yang membuat kita memilih dan berbuat,” jawab Bandung Bondowoso.

”Untuk apa?”

Bandung Bondowoso tak menjawab. Ia hanya melipat lengannya dan berjalan kembali ke markas pasukan, melewati deretan panji Pengging yang ditutupi gelap. Sejak ia menemui Loro Jonggrang—dan melihat wajahnya yang ketakutan tapi tak merunduk, mendengar ucapannya yang gemetar tapi fasih—ia tahu ada yang sia-sia dalam tiap kemenangan. Apa yang didapat para Pandawa setelah membinasakan Kurawa dan menguasai Astina dan Amarta? Seluruh generasi kedua keluarga Pandu yang seharusnya melanjutkan dinasti itu tewas di medan perang. Apa yang dicapai Rama setelah merebut Sita kembali? Ia tak yakin perempuan itu, yang bertahun-tahun disekap di Istana Alengka, seorang istri yang belum dinodai.

Kebanggaan diri dan kejayaan—mungkin itulah yang menggerakkan perang. Perang memang mengubah sejarah. Tapi, setelah itu, sejarah mengecoh para pendekar, dan lahir penulis tragedi.

”Jika saya mohon Tuan membangun 1.000 candi di sekitar bukit Prambanan itu, akankah Tuan memenuhinya?” tanya Jonggrang.

”Saya akan gentar. Tapi saya akan membangunnya.”

”Dalam satu malam?”

”Ada hal yang mustahil yang menyebabkan kita berbuat.”

Seseorang pernah mengatakan, manusia membuat sejarah karena dilecut yang mustahil: kemenangan, kejayaan, keadilan, dan hal-hal lain yang dicita-citakan sebagai alternatif bagi hidup yang tak pernah penuh.

Sebuah wilayah dengan seribu candi yang didirikan dalam satu malam adalah satu dari deretan angan-angan itu. Bahasa mencoba merumuskannya, dan itu sebabnya kata-kata tak sepenuhnya transparan. Tak pernah jelas apa yang sebenarnya ditandai dengan kata ”seribu”. Percakapan sehari-hari, retorika resmi dan nyanyian populer, (”tinggi gunung 1.000 janji”, kata sebuah lagu tahun 1950-an), menyebut angka itu lebih sebagai sebuah kiasan yang hendak mengesankan jumlah yang ”tak terhingga”.

Bandung Bondowoso agaknya tahu akan hal itu: ia harus siap menjangkau yang tak terhingga. Ketika sore mulai merayap, ia berangkat meninggalkan markas, sendiri. Konon di bukit itu para roh halus membantunya mengangkat batu dari Merbabu, menyusun dan memahatnya dengan relief yang menakjubkan.

Waktu pun berjalan, tapi apa yang membatasi ”malam” dengan ”pagi”? Fajar yang merekah, cicit burung di hutan, detakan lesung perempuan tani, atau asap dapur di balik gunuk? Atau sebuah kesadaran akan batas—yang mengingatkan bahwa yang ”tak terbatas” selalu luput?

Tapi siapa yang mengatakan kisah Bandung Bondowoso hanyalah cerita kesia-siaan tak akan memahami bahwa yang terbatas juga punya daya gugah dan mampu menyentuh hati. Ketika ia tahu ia gagal menyelesaikan 1.000 candi—dan gagal pula cintanya kepada Jonggrang—Bandung Bondowoso pergi ke belukar dan memahat sebuah patung. Ia ingin mengenang perempuan itu.

Patung itu: sebuah ikhtiar menggapai yang indah. Ia bukan keindahan itu sendiri, tapi tetap berharga hingga hari ini.

~Majalah Tempo Edisi. 35/XXXIV/13 - 19 Oktober 2006.(sumber:www.caping.wordpress.com)


ROSSA

Oleh:Gunawan Muhammad

Saya ingin bercerita tentang harapan yang tak selamanya berkaitan dengan Tuhan, meskipun ini bulan Desember. Juga tak ada hubungannya dengan kabar baik yang ditawarkan katedral baru kapitalisme, di mana lagu Malam Sunyi disebar di ruang terang-benderang bukan untuk menyambut sunyi—ruang-ruang Pondok Indah Mall, Senayan City, dan entah apa lagi.

Saya ingin bercerita tentang harapan justru dari sebuah sel gelap yang menyekap seorang yang menolak kapitalisme dan menampik Tuhan. Ia Rosa Luxemburg, tokoh besar dalam sejarah sosialisme Eropa yang akhirnya mati dibunuh.

Syahdan, pada bulan Desember 1917, Rosa menulis sepucuk surat dari Penjara Breslau. Perempuan ini disekap pemerintah Jerman karena ia, seorang warga negeri baru, dengan berani dan berapi-api menentang perang yang tengah berlangsung dengan gegap-gempita genderang patriotisme.

Tahun-tahun itu banyak hal terjadi: revolusi, aksi massa buruh, perpecahan kaum sosialis, nasionalisme yang berkibar-kibar, dan ketegangan politik Eropa dalam perang. Rosa Luxemburg disekap—setahun kemudian ia dibunuh—tapi aneh, sepucuk surat itu tak membahas hal-hal besar itu.

”Di sinilah aku terbaring,” tulisnya, ”dalam sebuah sel gelap di atas lapik yang keras seperti batu; gedung ini sesunyi sebuah pelataran gereja, begitu rupa hingga orang sama saja dengan dikuburkan.”

Seraya rebah itu ia melihat seberkas kecil cahaya jatuh lewat jendela ke atas dipan, cahaya dari lampu yang menyala sepanjang malam di depan penjara. Sekali-sekali didengarnya lamat-lamat suara gaduh kereta yang lewat atau, tak jauh dari tempat tidurnya, suara batuk kering penjaga bui yang dengan sepatu larsnya yang berat jalan-jalan sejenak untuk meluruskan kaki. Tapi dalam keadaan bosan, tak bebas, dan kedinginan itu ada perasaan ganjil:

”…jantungku berdetak dengan rasa riang yang tak terukur dan tak dapat dimengerti, seakan-akan aku tengah memasuki cahaya matahari yang cemerlang yang melintasi ladang bunga. Dan di dalam gelap aku tersenyum kepada hidup, seakan-akan akulah pemilik tuah yang memungkinkan aku mengubah semua yang keji dan tragis ke dalam ketenteraman dan bahagia”.

Kenapa? Kenapa ia bisa tersenyum kepada hidup justru dalam sel yang dijaga itu? Ia mencoba mencari jawab dan merenungkannya, tapi inilah kesimpulannya: ”Aku tak menemukan sebab apa pun, dan hanya dapat menertawakan diriku sendiri.” Entah kenapa ia percaya, seperti dikatakannya kemudian, bahwa kunci pembuka teka-teki ini ”semata-mata hidup itu sendiri”. Ditulisnya pula:

”…malam yang gelap pekat ini lembut dan cantik seperti beledu, jika saja kita memandangnya secara demikian. Geretau kerikil lembab yang terinjak oleh langkah pelan dan berat si penjaga bui juga seperti sebuah nyanyi kecil yang manis kepada hidup – bagi ia yang bertelinga untuk mendengar”.

Rosa Luxemburg tersenyum dalam gelap, riang dalam kungkungan, mendengarkan ”nyanyi kecil yang manis” biarpun dari suara langkah penjaga yang bersenjata. Dan ia tak tahu persis kenapa. Sebagaimana kita tak tahu adakah itulah saat waham datang, kita juga tidak tahu pasti apa maksudnya dengan ”hidup itu sendiri” yang ia sebut sebagai kunci pembuka teka-teki tentang perasaan itu.

Atau barangkali kita harus mencari jawabnya di tempat lain? Kita ingat pandangan hidupnya yang terbentuk oleh Marxisme. Kita ingat bahwa Marxisme memang sebuah paham yang yakin akan kemenangannya sendiri. Marxisme adalah ”ilmiah”, kata orang-orang sosialis pada zaman itu, dan ”ilmiah” berarti mempunyai kesahihan. Maka jika Marx meramalkan kelak kaum proletariat akan dibebaskan dan membebaskan, keadaan itu pasti akan terjadi. Seorang Marxis juga seorang yang yakin akan dialektika: hidup berubah, tesis akan mendapatkan anti-tesisnya, dan akan tercapai, melalui tempuk-junjung (Aufhebung), sebuah sintesis.

Rosa Luxemburg tentu belum tahu waktu itu, meskipun sudah ada yang tahu, bahwa yang diramalkan Marx tak terbukti. Itu akan terjadi 70 tahun kemudian. Ia bahkan tak tahu bahwa setahun setelah Penjara Breslau itu ia sendiri akan dibunuh oleh kaum kanan, dan gerakan sosialisme Jerman terpukul.

Bagaimanapun Rosa Luxemburg dapat dikatakan telah mencapai sesuatu yang kini mustahil kita capai, yakni harapan yang terbit karena ada kepastian dalam arah sejarah. Mungkin itu sebabnya dalam sel gelap itu ia masih mampu seakan-akan memasuki ladang kembang di bawah matahari: baginya, ia mati atau ia hidup terus, ia keluar dari sel itu atau tidak, sosialisme pasti menang.

Tapi jangan-jangan ada yang lebih kuat selain penjelasan yang bertolak dari Marxisme. Jangan-jangan, seperti John Lennon yang juga mati dibunuh, Rosa tak percaya kepada mati. Mati, bagi Lennon, hanyalah seakan-akan pindah dari mobil yang satu ke mobil lain.

Jika demikian, seseorang bisa punya kabar baik yang tak hanya berupa Natal dan iklan-iklan. ”Riwayatnya, hidupnya, karyanya, surat-suratnya, semua mengukuhkan kehidupan dan bukannya ajal,” tulis Simone Weil, pemikir Prancis perempuan itu, tentang Rosa Luxemburg. ”Tapi dengan demikian Rosa berharap ke arah aksi dan tak ke arah pengorbanan.” Dalam arti itu, kata Weil pula, tak ada yang bersifat Kristen dalam watak Rosa.

Tak ada sifat Kristen, bahkan tak ada iman. Tapi ternyata dalam posisi itu seseorang bisa menunjukkan bahwa syukur dan sabar bisa datang dalam sunyi yang mendengarkan ”nyanyi kecil yang manis kepada hidup”.

~Majalah Tempo, Edisi. 42/XXXV/11 - 17 Desember 2006~

(Sumber:www.caping.wordpress.com)

Gandhari

Oleh: Gunawan Muhammad

Ia bisa diselamatkan dari para penujum, tapi bisakah ia dibela dari nasib? Sejak Raja Subala mendengar ramalan buruk itu, ia perintahkan agar siapa saja yang hendak membaca masa depan tak diperkenankan masuk ke istana. Baginda tak akan lupa ucapan brahmana yang datang di musim semi itu—penujum terakhir yang diantar dengan bergegas ke luar balairung: ”Kelak, putri Paduka akan hidup dalam gelap, mungkin karena getir.”

Tentu saja Gandhari tak mendengar kata-kata itu.

Tapi ia praktis hidup dengan sejenis tabir. Ayahnya, Raja Subala yang lembut hati, memerintah sebuah kerajaan kecil yang tenang nun di utara, di bagian bumi yang kini disebut Kandahar. Tapi itu ketenangan yang rapuh. Ketika pada suatu hari datang utusan dengan sepucuk surat yang ditulis Bhisma, sang wali penjaga takhta kerajaan Hastina, Raja Subala tak bisa menampik. Kerajaan Hastina di seberang itu begitu kuat. Lagi pula surat itu sebuah pinangan. Siapa tak akan terbujuk jika Bhisma menyatakan Gandhari akan dipersandingkan dengan raja muda Destarastra dari wangsa Bharata?

Yang waktu itu tak diberitahukan kepada Gandhari dan keluarga kerajaan Gandara ialah bahwa sang calon mempelai seorang yang buta; Destarastra seorang yang lemah. Kerajaan Hastina praktis diperintah Pandu, adiknya yang lahir dari ibu yang berbeda. Si muka pucat yang jadi pendekar perang dan penakluk wilayah inilah yang memegang tampuk, sampai akhirnya ia meninggalkan takhta, hidup di hutan dan meninggal sebagai resi. Sejak itu Destarastra memerintah sendiri.

Gandhari berjumpa pertama kalinya dengan calon suaminya, raja muda yang dituntun itu, di kursi pelaminan. Ia terkejut. Bukan kebutaan itu yang terutama mengganggunya, tapi sikap laki-laki itu yang seakan-akan selamanya bingung, setengah pasrah setengah degil—seorang muda yang jadi ringkih di bawah bayang-bayang keagungan Bhisma dan keperkasaan Pandu.…

Tapi bisakah ia ditampik? Beranikah Gandhari membuat murka Bhisma hingga membahayakan kerajaan ayahnya?

”Ah, aku bukan kakakmu,” ia pun menulis surat ke adik-adiknya di Gandara. ”Aku hanya sebaris tugas. Aku bukan perempuan. Aku perpanjangan dari takhta kita yang ringkih.”

Adik-adiknya, terutama Sengkuni, marah mendengar penderitaan kakak mereka, tapi mereka tak mampu berbuat banyak. Hanya Sengkuni yang kelak—setelah ia berhasil mendapatkan posisi penting di Hastina—dengan cerdiknya membalas dendam: dengan tipu muslihat ia mempercepat meletusnya perang saudara yang membunuh mati Bhisma dan membinasakan keluarga Bharata.

Tapi sebelum itu, di kamarnya di Hastina, Gandhari hidup seperti murai yang terjepit. Dayang tua yang mendampinginya sejak kecil menangis. Ia teringat bisik-bisik yang didengarnya dulu: ada nujum seorang suci dari selatan yang tak boleh disiarkan.

Tapi nujum bisa dibungkam, nasib tidak. Dan yang tak adil tiap kali datang.

Kita bisa mengatakan, Gandhari adalah sebuah cerita tentang datangnya yang tak adil. Yang jarang ditafsirkan dari Mahabharata ialah bahwa perempuan ini justru yang menunjukkan apa yang cela dalam diri Bhisma, tokoh agung itu. Bhisma—sebuah sumpah yang dahsyat. Bhisma—putra mahkota yang berjanji berkorban bagi ayahnya, untuk tak akan pernah memegang tampuk kekuasaan dan tak akan pernah menurunkan anak yang kelak akan berkuasa. Bhisma—yang bersedia membiarkan Hastina diperintah anak-cucu Setiawati, permaisuri baru yang telah memikat hati si ayah, sang baginda tua. Bhisma—sebuah sikap mulia yang diberkati para dewa dengan Ichcha Mrityu, kemampuan menentukan saat kematiannya sendiri. Bhisma—sebuah tauladan gilang-gemilang.

Tapi bukankah ia sebenarnya juga satu kekuatan yang memaksa? Bukankah dulu patriarkh ini juga yang memperlakukan Ambika dan Ambalika, dua perempuan yang ketakutan—yang masing-masing melahirkan Destarastra dan Pandu—hanya sebagai hasil sayembara ketangkasan? Hadiah yang perlu didapat untuk memproduksi anak?

Bhisma: sebuah kontradiksi. Yang agung dan gilang-gemilang ternyata menyimpan yang brutal dan timpang. Memang mulia keputusannya untuk tak mau duduk di takhta, tapi ia sebenarnya berkorban untuk seorang ayah yang tak mau berkorban. Ia meneguhkan sebuah egoisme. Ia memang teguh memegang sumpah, tapi dengan demikian ia tak mencegah ketika Hastina harus dipecah jadi dua untuk memuaskan para pangeran keluarga Bharata yang berasal dari rahim dua ibu.

Gandhari memang tak menggugat itu. Tapi ia, si pelengkap penderita dalam epos keluarga Bharata, justru mengungkap banyak hal. Ini dimulai ketika ia memutuskan untuk menutup kedua matanya dengan seuntai kain hitam, sampai mati, agar tak melihat apa-apa.

Aduhai, ia istri yang setia, puji sebagian orang: perempuan yang bersedia mengorbankan diri agar senasib suaminya yang tunanetra.

Bukan, ia perempuan yang getir, cela sebagian yang lain: ia tak hendak melihat bagaimana anak-anak pasangan Pandu dan Kunti—para Pandawa—jauh cemerlang ketimbang para Kurawa, anak-anak Gandhari sendiri, yang bebal dan dengki.

Tapi mungkinkah hanya itu? Bagi saya tidak. Gandhari melakukan itu karena ia, yang menanggungkan kesewenang-wenangan nasib dan sejarah, menemukan satu cara melawan. Saya bayangkan ia berkata kepada dayangnya yang setia: ”Emban, kututup mataku karena aku tak ingin hidup hanya mengutamakan penglihatan yang tajam dan cahaya cemerlang—memuja keunggulan memanah, kemilau baju zirah, berkibarnya panji-panji, tegasnya tapal batas. Mata dan terang bisa menghadirkan benda di ruang yang jauh, di dalam dan di luar peta, tapi rabaanku menghargai apa yang dekat dan akrab, telingaku bertaut dengan bunyi dalam waktu.”

”Dengarkan Emban, derap perang besar itu, seakan-akan ada garis yang lurus yang jelas antara yang adil dan tidak. Tapi benarkah? Cahaya memang menerangi dunia, tapi ia tak pernah memperjelas dirinya sendiri. Aku ingin hidup tanpa cahaya.”

~Majalah Tempo, Edisi. 45/XXXV/01 - 7 Januari 2007~

(sumber: www.caping.wordpress.com)

Surat

Oleh Gunawan Muhammad

Kartini tak dikenal. Sebuah lagu yang memujanya dan dinyanyikan tiap 21 April menyebutkan betapa ”harum namanya”. Ia memang telah jadi aikon sejak dasawarsa awal abad ke-20, sebelum Bung Karno dikenal di pelbagai mimbar. Tapi Kartini lebih merupakan ”pokok” ketimbang ”tokoh”.

Ia sendiri memilih untuk berlindung. ”…aku ingin [menulis di surat kabar] tapi tidak dengan namaku sendiri. Aku ingin tetap tidak dikenal… di Hindia ini”—begitulah tulisnya dalam surat bertanggal 14 Maret 1902.

Ia seakan-akan memakai cadar. Ayahnya, sang Bupati Jepara yang mencintainya dan dicintainya itu, menjaga agar hal itu seterusnya demikian. Bapak itu gagal, sebab akhirnya Kartini mau tak mau dikenal. Tapi itu tak menyebabkan ia terjangkau orang ramai. Dengan catatan: ”cadar” sebetulnya bukan kiasan yang tepat di sini. Lebih baik dikatakan, Kartini bertatarias.

Ia tak sepenuhnya tak terlihat. Ia memperkenalkan diri dan mengisahkan harapan dan kemurungannya kepada sejumlah orang lewat surat-menyurat. Praktis hanya dengan korespondensi itu kita tegakkan Kartini sebagai tokoh. Atau lebih tepat sebagai pokok. Sebab Kartini tetap mengelak untuk disimak siapa sebenarnya dia.

Danilyn Rutherford pernah menelaah hal ini dalam sebuah esai, ”Unpacking a National Heroine: Two Kartinis and Their People”, dalam jurnal Indonesia yang terbit di Cornell University; ia membandingkan buku S. Soeroto, penulis Kartini, Sebuah Biografi, dan Pramoedya Ananta Toer, yang menulis Panggil Aku Kartini Saja. Kesimpulannya: semua tulisan tentang ”pendekar kaumnya” ini hanya tafsir, dan tiap tafsir merupakan hasil ”penetrasi politik tertentu ke dalam teks tertentu”.

Yang tak dibahas adalah bahwa jarak antara ”Kartini-yang-sebenarnya” dan ”Kartini-dalam-tafsir” justru terjadi karena medium yang dipilih Kartini sendiri.

Seandainya ia menulis catatan harian, dan kita bisa menemukannya….

Di sebuah kesempatan lain pernah saya katakan catatan harian adalah curahan konfesional tanpa pastor. Dalam medium ini, sang penulis masuk dan diam di sebuah ruang komunikasi yang paling intim, tapi juga berada dalam ruang pikiran dan imajinasi yang hampir tanpa batas. Tak ada orang lain. Atau orang lain itu (seperti dalam catatan harian Anne Frank) diciptakannya sendiri dan berada di bawah ampuannya: teman bicara imajiner itu tak bisa menjawab.

Kecuali bila seseorang sadar bahwa catatan hariannya suatu ketika akan dibaca orang, ia praktis bebas dari tatapan orang lain. Ia tak berada di pentas.

Ia akan berada di pentas menghadapi orang banyak jika ia jadi sosok media massa. Tapi ada paradoks dalam teknologi Guttenberg dan kapitalisme-cetak: media massa itu menjangkau sebuah audiens yang besar, ia bisa luas didengar, tapi ia juga membuat seseorang rentan. Sang penulis bisa merasa dalam kekuasaan. Tapi ia juga dalam sorotan yang tak bisa dikendalikannya.

Sebab ia tak mengenal audiensnya dengan akrab. Ia hanya menduga-duga, baik tingkat informasinya maupun potensinya menerima informasi baru, baik nilai-nilainya maupun kecemasannya.

Ketidakpastian inilah agaknya yang menyebabkan Kartini gentar dan mengelak. Ia memilih berkorespondensi antarteman.

Dalam korespondensi, ada seorang lain yang nyata, yang bisa bertanya dan bereaksi. Orang lain itu juga dapat diidentifikasikan, dan dari sini lebih mungkin terjalin keakraban.

Tapi apa boleh buat, keakraban itu mengandung ambivalensi.

Ini tampak dalam surat-menyurat Kartini dengan Stel-la Zeehandelaar. Perempuan muda dari Belanda ini ”sahabat pena”-nya. Persahabatan itu terjalin, tapi di antara kedua penulis surat terbentang jarak ribuan kilometer. Keduanya hanya dihubungkan dengan sebuah instrumen kecil untuk menyampaikan kata-kata: ”pena”.

Itu sebabnya Stella—yang surat-suratnya tak pernah diketemukan—tampil sebagaimana Kartini merautnya dengan pena itu. Juga sebaliknya: kepada Stella, Kartini merepresentasikan diri terbatas sebagai respons terhadap surat sahabatnya. Ia bernegosiasi, dengan menggunakan bahasa yang ia pelajari, untuk menyesuaikan dan mengubah persepsi, untuk merumuskan identitas atau memodulasi identitas itu, untuk memilih apa yang dikatakannya dan apa yang tak dikatakannya.

Itu sebabnya, dalam surat-surat Kartini, ungkapan ekspresif silih berganti dengan kalimat yang menjelas-jelaskan. Kehangatan dan keakraban silih berganti dengan rasa berjarak. Stella, yang disebutnya ”pasangan jiwa”, tetap seorang asing.

Dengan kata lain, ke arah Stella, Kartini memakai rias. ”Panggil aku Kartini saja,” tulisnya—sebuah kalimat yang mungkin lebih merupakan cara Kartini untuk memudahkan Stella memahami dan menerima dirinya, seraya memudahkan dirinya sendiri dalam memilih identitas. Apa arti ”Raden Ajeng” bagi seorang Belanda yang pengertiannya tentang aristokrasi berasal dari sejarah Eropa? Apa arti gelar itu bagi seorang gadis Jawa yang tahu dirinya tak 100% berdarah ningrat?

Kepada Stella Kartini mengatakan, ”Ibuku masih sangat terhubung dengan Kerajaan Madura.” Tapi Kartini tahu, dan Stella tidak, bahwa ”Ibu” di sini bukanlah ibunya sendiri, melainkan ibu tirinya, permaisuri Bupati Jepara. Status ibu kandung Kartini, seorang dari kelas bawah, hanyalah selir.

Tapi haruskah semua jelas tentang sebuah aikon? Bahkan sebagai aikon, orang dapat membacanya secara bertentangan. Dalam lagu karya W.R. Supratman itu ia disebut ”pendekar bangsa, pendekar kaumnya”, tapi yang bagi saya menyentuh dalam sosok Kartini justru dirinya yang terbelah: ia menjerit dan sebab itu didengar, ia korban dan sebab itu jadi lambang. Kita tahu akhirnya ia gagal: seorang penentang poligami yang mati muda sebagai seorang madu. Tapi kegagalan itulah yang menunjukkan betapa tak adilnya sistem tempat ia hidup—dan Indonesia pun berteriak, ”Jangan, jangan lagi!”


~Majalah Tempo Edisi. 09/XXXIIIIII/23 - 29 April 2007~

Rabu, 15 Oktober 2008

Bhutto

Sejarah apakah ini, yang dicatat Rawalpindi? Beberapa menit setelah pukul 5:30 sore 27 Desember 2007 itu, seorang lelaki kurus membunuh Benazir Bhutto yang baru selesai berpidato di rapat umum di Taman Liaquat Bagh. Setidaknya, itulah cerita menurut beberaoa saksi: tokoh politik itu sudah duduk dalam mobil tapi menjulurkan kepalanya ke luar kap atap. Sebuah tembakan terdengar. Sebuah bom meledak. Benazir rubuh. Dengan cepat mobil membawanya ke rumah sakit umum kota itu. Pada pukul 6: 16, ia tak bernyawa lagi.

Ledakan bom itu menewaskan sekitar 30 orang. Kelimun orang itu histeris.

“Semoga Tuhan menjaga keselamatan Pakistan”.

Itu kata-kata terakhir seorang pemimpin lain, di tahun 1951. Dia Liaquat Ali Khan, perdana menteri pertama. Ia juga tewas, ditembak, setelah berpidato di taman yang sama – sebuah alun-alun yang kemudian dikekalkan dengan namanya.

Jika kata-kata terakhirnya sebuah doa, maka doa itu tak dikabulkan Tuhan agaknya. Di pagi hari 4 April 1979, tak jauh dari taman itu, di penjara Rawalpindi, Zulfikar Ali Bhutto, ayah Benazir, bekas presiden dan perdana menteri, digantung mati oleh pemerintahan militer Jenderal Zia ul-Haq, dengan tuduhan ia telah membunuh seorang lawan politiknya

Sejarah apakah ini, yang dicatat di Rawalpindi?

Benazir dibunuh: keluarga Bhutto adalah tragedi Pakistan. Tiga dari empat dari anak Zulfikar dengan isterinya, Nusrat, tewas. Di tahun 1985, Shanawaz, si putra bungsu, ditemukan mati di Riviera Prancis dalam umur 28. Keluarganya mengatakan ia diracun. Di tahun 1996, adik Benazir yang juga jadi musuh politiknya, Murtaza, mati dalam tembak menembak dengan polisi Pakistan. Fatima Bhutto, anaknya yang kini jadi penyair dan kolumnis, tak pernah memaafkan Benazir, sang bibi.

Walhasil, riwayat Bhutto adalah bagian dari sejarah kekerasan politik, sejarah kegagalan mengelola konflik, sejarah kekecewaan.

Pakistan berdiri sebagai bagian dari India yang memisahkan diri, hingga kedua republik itu lahir di tahun yang sama, 1947. Tapi sementara India kini mulai bangkit sebagai kekuatan ekonomi, Pakistan – dalam kata-kata Penulis Tariq Ali di kotan The Guardian pekan lalu – hanya sebuah “conflagration of despair”, rasaputus asa yang menjalar bagaikan gelombang api.

Tentu, India juga mengandung sejarah kekerasan dan pembunuhan politik. Tapi sampai hari ini demokrasi di India bisa bertahan, (meskipun terkadang dengan ledakan yang menakutkan seperti bengisnya fundamentalisme Hindu), seraya membuktikan dapat menaikkan pertumbuhan ekonomi sampai 9% setahun.

Pertumbuhan ekonomi Pakistan sendiri tak buruk amat, sampai 7%. Aktifitas politik dan pers di negeri itu lebih bebas ketimbang di Malaysia atau Singapura yang tenang bak akuarium. Tapi lembaga yang menopang struktur politiknya dijalari ketak-pastian. Tiap rezim yang dijaga bedil tentara adalah sebuah rezim yang diam-diam meragukan legitimasinya sendiri. Maka berkecamuklah politik paranoia. Pintu dan saluran dijaga ketat. Dalam keadaan bumpet, desakan mudah jadi eksplosi.

Kenapa? Karena “Islam”?

Saya kira bukan. “Islam” adalah sebuah nama yang maknanya dirumuskan dengan beberapa patokan yang tetap. Yang sering diabaikan ialah bahwa patokan itu – katakanlah hukum syari’at — tak selamanya mampu mewakili “Islam” yang dianggit, yang diimajinasikan secara sosial dalam sejarah – imajinasi yang berlapis, beragam dan mengalir terus seperti, untuk memakai istilah Castoriadis, “magma.”

Di tahun 1930, ketika Mohammad Iqbal, penyair dan filosof itu, merumuskan argumennya agar minoritas Muslim di India punya tanahairnya sendiri, ia tampak berpikir bahwa pengertian tentang identitas “Islam” adalah realitas yang sudah siap pakai seperti briket bata. Iqbal menganggap gampang dan jelas agenda mendirikan negeri kaum Muslimin tersendiri. Ia tak melihat bahwa tiap wacana tentang identitas sosial selalu mengandung konstruksi atas arus yang “magmatik”. Konstruksi itu ditentukan oleh sebuah “pusat.” “Pusat” itu adalah sang pemenang dalam pergulatan mencapai posisi hegemonik.

Saya katakan “pergulatan”: ada gerak politik di dalam tiap perumusan identitas sosial. Itulah yang tak dilihat Iqbal. Ketika Pakistan dimaklumkan kelahirannya bersama India, dengan segera tampak jarak antara niat luhur seorang filosof dan politik paranoia yang mencemaskan.

Politik punya sejarah yang tak hanya terdiri dari membangun imajinasi bersama dan memberi makna bersama. Machiaveli mengingatkan hal ini sebenarnya: ia berbicara tentang kekuasaan bukan sebagaimana “seharusnya,” melainkan sebagaimana “adanya.” Politik sebagaimana “adanya” adalah yang kemudian dirumuskan dengan brutal oleh Carl Schmitt sebagai das Politische: di dasarnya adalah antagonisme.

Itu sudah tampak sebenarnya ketika perpisahan India-Pakistan dilaksanakan. Tapal batas digariskan terkadang dengan seenaknya dari meja para administratior Inggris. Syahdan, sebanyak 14,5 juta manusia bertukar tempat. Karena kedua republik baru itu belum siap mengelola sebuah migrasi besar-besaran, kebingungan yang meresahkan berakhir dengan bentrokan yang meluas. Tanah berpindah tangan, keluarga terpisah, komunitas asal retak – dan sekitar 500 ribu manusia mati hari-hari itu.

Lahirnya Pakistan dan India memang bukan kisah yang suci murni. Tapi bila India lahir tanpa memakai label agama, dan sebab itu mengakui dirinya tak sempurna – hingga lebih siap menghadapi apa yang busuk, brutal, dan bingung dalam tubuhnya – dalam kasus Pakistan label “Islam” telah menutupi apa yang cacat dan yang celaka – juga menyembunyikan yang retak. Bertahun-tahun orang hidup dengan ideologi ”keutuhan” itu. Akhirnya adalah kekerasan – atau ledakan amarah yang mencoba menolak apa yang tak bisa ditolak, bahwa “Islam” dan “Pakistan”, (ya, bahkan “Bhutto”), adalah nama tentang sesuatu yang tak pernah utuh.



“Semoga Tuhan menjaga keselamatan Pakistan” – dan berkali-kali pembunuhan terjadi di Rawalpindi.



~Majalah Tempo Edisi. 45/XXXVI/31 Desember - 06 Januari 2008~

Sumber: www.caping.wordpress.com


Selasa, 14 Oktober 2008

Zilot

WOLE Soyinka tahu apa artinya diinjak dan bagaimana rasanya ditindas. Pemenang Hadiah Nobel untuk Sastra tahun 1986 ini sekarang berusia 74. Ketika ia 31 tahun, orang Nigeria ini ditahan pemerintah selama tiga bulan, dan dua tahun kemudian, ia—waktu itu direktur Sekolah Drama di Universitas Ibadan—dipenjarakan karena tulisan-tulisannya dianggap mendukung gerakan separatis Biafra. Selama setahun ia disekap, antara lain di sebuah sel yang sesempit liang lahat. Karena protes internasional, ia dibebaskan. Tapi ketika Jenderal Sani Abacha berkuasa di Nigeria (1993-1998), Soyinka dihukum mati in absentia. Kesalahannya: ia membela seorang pengarang dan aktivis terkenal yang dihukum gantung.

Dari riwayat itu kita tahu, Soyinka tak akan berhenti menentang ”sepatu lars yang menindas”. Tapi kemudian sesuatu yang lebih opresif datang: fundamentalisme agama, terutama di tanah airnya. Bagi Soyinka, kini jadi tugasnya untuk ”melawan mereka yang memilih bergabung dengan pihak kematian”. Artinya ”mereka yang mengatakan telah menerima titah Tuhan entah di mana dan berkata bahwa mereka wajib membakar dunia agar mereka mencapai keselamatan”. ”Pihak kematian” ini tak hanya di satu sisi. Soyinka melihat musuh itu ”di lorong-lorong sempit Irak ataupun di Gedung Putih.”

Karenanya, tugas itu tak mudah. Bagi Soyinka, Nigeria yang didera pembunuhan antarkelompok agama karena fundamentalisme iman, ”lebih berbahaya” ketimbang Nigeria di bawah kediktatoran militer ketika ia sendiri dipenjarakan.

”Fundamentalisme agama lebih berbahaya… sebab ia tak berbentuk, dan bergerak ke banyak arah,” katanya dalam satu wawancara bertanggal Januari 2003. ”Melawan kediktatoran militer, kita bisa memfokuskan sasaran. Kita dapat melawannya langsung. Kediktatoran itu segerombolan orang yang didera hasrat kekuasaan. [Tapi] fundamentalisme memperoleh pengikut di tempat yang paling tak terduga. Ia menyatakan diri dalam bentuk yang acak dan sangat berbahaya.”

Tanah airnya mungkin salah satu saksi yang boncel-boncel dan berdarah. Sejak 1999, di dua belas negara bagian Nigeria Utara, penduduk yang muslim memilih untuk menerapkan syariah Islam. Tapi kian lama kian tampak, ada yang tak beres dengan ketetapan itu, terutama di republik yang berpenduduk 147 juta dan hanya 50 persennya muslim, sementara 40 persennya Kristen. Sementara korupsi meluas, 70 persen penduduk di bawah garis kemiskinan. Ketimpangan sosial tajam (indeks Gini hampir 44, bandingkan dengan Indonesia yang 34) dan hanya 68 persen penduduknya yang melek huruf (sementara Indonesia: 90 persen). Syariah Islam, yang sibuk mengurus soal akhlak pribadi, tak kunjung tampak hendak melenyapkan kondisi sosial itu.

Bahkan satu kejadian menggambarkan bagaimana hukum syariah jadi soal yang gawat: kasus Aminah Lawal Kurami.

Maret 2002, perempuan berumur 27 ini dijatuhi hukuman mati dengan dirajam, karena mahkamah syariah di Kota Funtua menganggapnya telah berzina. Ia baru bercerai, tapi melahirkan. Perempuan miskin ini divonis tanpa didampingi pembela. Hanya satu hakim yang menjatuhkan hukuman. Aminah buta huruf, tak tahu undang-undang yang dianggap tak boleh dilanggarnya.

Tentu saja para hakim syariah tak menganggap hal itu bisa meringankan hukumannya. Harian The Guardian awal Oktober 2003 mengutip pernyataan Dahaltu Abubakar dari mahkamah banding di Katsina: ”Tak tahu undang-undang tak bisa jadi pembelaan.” Ini bukan hukum bikinan manusia, katanya. ”Selama kamu muslim, hukum ini berlaku buat dirimu.”

Syukurlah, setelah kampanye yang gigih di seluruh dunia—bahkan The Oprah Winfrey Show ikut membelanya—Aminah tak jadi mati dirajam. Tapi kejadian itu menunjukkan bagaimana penerapan syariah Islam justru mengungkapkan perbenturan antara hukum dan keadilan, antara iman dan kemanusiaan.

Tapi apa artinya kemanusiaan, apa artinya hidup, bagi yang disebut Soyinka sebagai ”pihak kematian”, the party of death? Sebab ”kematian” di sini tak hanya menyangkut disambutnya hukum rajam dan potong tangan, tapi juga menyangkut tafsir yang tak hidup lagi.

The party of death itu juga yang berkibar ketika pada tahun 2000 dan 2002 Nigeria, khususnya di Kota Kaduma, orang Kristen dan Islam baku bunuh. Dari sana Soyinka menulis sajak, Twelve Canticles for the Zealot, dengan nada yang marah dan kalimat yang menusuk. Sajak pemenang Hadiah Nobel untuk Sastra tahun 1986 itu tak begitu bagus, sebetulnya, tapi bukanlah ia punya alasan untuk tergesa-gesa?

Para zilot telah menyuarakan pekik pertempuran, dan Soyinka memandang mereka sebagai ”pelayan vampir”, yang hinggap di pucuk gereja, di menara masjid, di kupola katedral. Ia bertengger di tembok penyangga ”kesalihan”. Sang ”pelayan vampir” itu menunggu untuk loncat ke semua arah. Ia tak akan berangkat sendirian. Ia akan mengajak: ”Datanglah bersamaku atau, kalau tidak, ke neraka!”

Maka tangan sang zilot terulur, kata sajak Soyinka pula, tapi bukan untuk membuai ranjang bayi yang damai. Tangan itu ”cakar kebencian”, mencengkeram dari ujung ke ujung, ”Membubuhkan luka, membunuh, itulah segalanya”.

Zilot—sebuah pengertian dari Injil yang kemudian menggambarkan sikap orang fanatik yang militan—dalam sajak Soyinka kata itu menunjuk mereka yang atas nama hukum agama yang murni mengancam spontanitas kegembiraan hidup di atas bumi, di bawah langit, di antara makhluk yang fana. Maka dari Nigeria, anak tanah air itu berseru, menolak ”the party of death”: ”Aku datang dari tanah Ogun/negeri perempuan menampik cadar dan laki-laki/berbagi suka dengan bumi”.

Sumber: www.caping.wordpress.com

Tentang jiwa yang lain (4)

Menunggumu Hingga Entah

:Liemdays

Aku masih setia menunggumu. Lagi-lagi menunggumu. Selalu menunggumu.

“Kenapa kita jadi begini?,” tanyaku dalam kepenatan.

Kali ini aku menunggumu di wartel depan kosku. Meski lama, aku sengaja bertahan tidak kembali lagi ke kos. Mungkin karena aku terlalu terbiasa menunggumu disana, sehingga aku lebih memilih duduk diam dan menebak-nebak bahwa kau akan tiba dalam hitungan detik.

Alasan lainnya, karena aku tiba-tiba mudah tersinggung dengan sindiran dan ledekan teman-teman kosku. Dan seperti biasa, di kepalaku semua itu lebih mirip ejekan. Ah, mungkin aku memang terlalu sensitif. Menunggu memang berbeda dengan menanti. Entah apa lagi yang akan kulakukan jika kumenantimu yang begitu lama seprtihalnya ku menunggumu.

Menunggumu siang ini merupakan menunggu yang keberpuluh kalinya. Bisa dibilang, kini ketidaksabaranku telah melunak. Menunggumu kini, spontan membuatku menerawang pertengkaran kita yang cukup hebat. Ya, setidaknya selama dua tahunan bersamamu, pertengkaran ini yang terus menerus membuatku takut kehilanganmu.

Ketika itu, muaranya tetap sama, yakni menunggumu yang begitu lamanya. Satu setengah jam. Bayangkan. Bagiku itu waktu yang begitu lamanya. Kenapa? Karena seperti biasa, ketika kita berjanji pergi bersama, saat itu pula, pada jam itu pula, aku sudah siap seratus persen untuk pergi. Bahkan satu jam sebelum kau datang menjemputku, aku sudah siap segalanya. Acara-acara yang bisa dibilang lebih penting pun, aku batalkan hanya karena kita sudah berencana ke suatu tempat ataupun momen khusus. Sayangnya, seperti biasa, setengah waktunya hanya kuhabiskan untuk menunggumu.

Saat itu, amarahku memang tak terbendung lagi. Karena bagiku, kau memang sangat keterlaluan. Kau telah membuatku menunggu sekitar dua jam-an.

“Maksudmu apa? Kau pikir aku bodoh? Menunggumu selama itu tanpa ada kabar apakah kau batal menjemputku atau tidak! Kau sengaja membuatku menunggumu bagai orang tolol?,” aku marah besar.

Keterlaluan memang. Kau tak memberiku kabar, baik lewat sms ataupun telfon langsung. Parahnya, Hp-mu tidak aktif ketika berkali-kali aku menghubungimu, yang ada hanya tulalit. Ya, biasanya ketika kau telah berjanji menjemputku, aku tak henti-hentinya menelfonmu. Setidaknya aku bisa memastikan, apakah kau batal menjemputku atau kau terlambat mejemputku.

“Puas? Sudah membuatku menjadi orang paling tolol?,” aku masih membara.

Seperti biasa, kau hanya diam. Biasanya aku terima diammu. Tapi malam itu, aku lelah. Lelah jika hanya diam dan diam. Aku lebih memilih mengeluarkan kejengkelanku saat itu juga, daripada harus diam dan menyimpan kekecewaanku berhari-hari lamanya. Tapi kau tetap diam. Aku makin marah. Aku terhina. Diammu seakan-akan tak menghargai pertanyaanku. Tanpa komentar apapun. Hingga tiba-tiba di pinggir jalan dekat pohon besar, kau menghentikan mesin motormu. Namun kau tetap diam. Aku makin membara. Aku memutuskan untuk pergi tanpa harus membonceng di motormu lagi.

Ahirnya kau buka mulut, kau mulai menjelaskan alasan keterlambatanmu menjemputku. Namun aku masih membara. Karena saat itu masalahnya bukan hanya keterlambatanmu, tapi juga diammu yang telah menyepelekan pertanyaanku. Seperti biasa kau meminta maaf. Aku tak terima. Hingga ahirnya kita gagal menghadiri sebuah acara.

Kini, aku masih menunggumu seperti biasa, di wartel depan Kosku. Sambil sesekali meredam emosi yang ingin secepatnya kukeluarkan seperti biasanya. Meski sebenarnya, aku tetap menerima dalihnmu. Ya, selalu ada dalih kenapa kau membuatku menunggumu, meski ahirnya aku akan benar-benar mengutuk diri atas segala ketololanku.

Karena pada ahirnya pun, kau selalu punya dalih kenapa lagi-lagi kau membuatku menunggumu. Ke-aku-anku bukanlah aku yang mudah menerima dan dibodohi, dikerdilkan, dibuat tergantung dan dibuat menurut. Bahkan ketika kau dan aku telah mampu menguasai satu sama lain, bukan berarti kau bebas mendominasiku. Ya, kau takkan pernah mampu mendominasi-ku.

Jika sudah menunggu, menunggu dan menunggumu. Jika sudah sering kau berdalih. Jika sudah ada keterikatan dan ketergantungan yang absurd, aku hanya bisa menghibur diri. Dengan sesekali menerka. Mungkin saja kau ketiduran ketika kumenunggumu. Mungkin juga, kau tidak enak diajak ngobrol teman lamamu. Mungkin motormu dipinjam temanmu sehingga kau tak bisa pergi secepatnya. Mungkin kau menyelesaikan satu masalah hingga kau melupakan janjimu atau sengaja lupa. Mungkin juga kau sakit?. Mungkin juga kau berubah pikiran untuk menengokku, tapi pulsamu habis hingga tak bisa menghubungiku.

Atau mungkin juga ada perempuan selainku yang membuatmu melupakan janjimu tuk pergi bersamaku. Namun aku tetap diam ditempat yang sama. Di Wartel depan kosku. Menunggumu. Ya, aku masih menunggumu.

“Hingga kini, kupegang janjimu. Tapi esok entah,” ujarku spontan dalam hati.

Kumenunggu dalihmu. Hingga aku emosi dengan diamku, dan kau emosi dengan dalihmu. Atau aku emosi dengan kata-kata tajamku, sedang kau emosi dengan diammu. Begitu seterusnya. Hingga aku lelah menunggumu dan sejuta dalihmu. Dan hingga kau lupa akan kita. Atau mungkin aku lelah akan kita.

Tentang jiwa yang lain (3)



Perempuan yang berpikir dengan pikirannya sendiri

: Liemdays

“Aku adalah perempuan, karena aku tak mau menerima, aku tak mau disakiti, aku juga tak mau dipaksa, dan aku bukan kau!”

Siapa sangka aku akan melangkahkan kaki di tempat yang tak ingin ku pijak lagi. Tapi memang tak ada lagi pilihan. Aku harus melangkah mengikuti kemauan hati. Aku juga harus mampu. Jika tak begini, dengan apa aku memuaskan inginku. Bukankah aku pernah bilang, aku perempuan yang ingin menciptakan duniaku sendiri. Aku memiliki keputusan atas diriku. Keputusanku untuk memilih melebur dan menghindar dari apapun dan siapapun. Keputusanku untuk tidak berkomitmen pada siapapun dan apapun. Jangan katakan aku lemah, hanya karena tak mampu mempertahankanmu. Mungkin kau tak pernah tahu aku sangat menikmati betapa gaibnya perasaan ini bagiku.

Bahkan hingga kini, setelah sekian lama kita saling meninggalkan satu sama lain. Hingga

terkesan sekali bahwa diantara kita saling berlomba siapa yang lebih cepat untuk meninggalkan siapa. Perih memang terasa. Demi kebahagiaan, siapapun dan apapun pasti akan mengalami hal serupa. Ternyata sebanding, antara kebahagiaan yang ingin kita raih, dengan kepedihan yang kita rasakan. Ini adalah bagian dari proses hidup, katamu ketika itu.

Dulu dan kini, cintaku selalu mampu memaafkan segalanya. Harusnya aku mampu mengambil resiko menjadi diri yang tak lagi digerogoti rasa takut akan kau yang nyata-nyata meninggalkanku. Hingga aku lebih memililih ruang yang kurasa sunyi dan sesak, hingga aku tak tahan ingin lari darinya. Tapi aku tetap di sini, mencoba menguatkan diri tuk mendengarkan bagiamana kau akan membohongiku lagi. Mungkin kini aku lebih siap menerima resiko itu. Tak seperti beberapa tahun silam, ketika kau datang tiba-tiba setelah beberapa bulan sengaja menghilang dan tak memberiku kabar. Kau terlalu menikmati duniamu, dunia yang sampai kapanpun sulit kufahami. Mungkin karena aku tak berkeinginan memahaminya. Tapi aku menerimanya. Bersamamu, aku laiknya istri muda yang kau buat takut dan harus mengendus-endus setiap ingin menikmati waktuku bersamamu.

Ya. Di tengah kegalauanku tuk kembali mempercayaimu, tiba-tiba kau datang. Tapi saat itu kau tak sendiri, kau datang dengan keputusanmu tuk berkomitmen dengan perempuan yang mungkin lebih segalanya dariku. Spontan aku tertawa. Mungkin menertawakan diri yang kata mereka aku begitu tolol, dan menertawakan kisahku bersamamu yang begitu klise.

“Kau keterlaluan!” protesku. Setidaknya kata-kata itu mampu mewakili kekecewaanku padamu. “Bukankah ini yang kau inginkan? Kau selalu menciptakan kebenaran sendiri. Aku lelah berdebat denganmu. Itu satu hal yang menggangguku. Kalimat-kalimatmu yang tidak jelas. Jika ada sesuatu yang ingin kau katakan padaku, katakan saja!” Kebenaran itu seperti pisau merobek harga diriku.

“Ini berbeda! Kau berdusta di saat aku mencoba mempercayaimu lagi. Apa dia lebih segalanya dariku? Apakah lelaki selalu begitu? Selalu ingin memulai dan memutuskan?” Kau hanya diam.

Artinya aku harus segera menghentikan pembicaraan. Kalau tidak, suasana bisa buruk, hingga berakhir di pertengkaran. Bagaimanapun bila menyentuh soal perasaan tentu sangat sensitif. Sangat egois.

“well! hal-hal yang kita pelajari dari orang yang kita pikir kita kenal. Sudahlah lupakan!.” aku mencoba bersikap bijak.
Aku tertawa hampir histeris. Mataku adalah mata perempuan yang terbakar penderitaan. Dan aku takkan membiarkan kau menerobosnya. Berfikir bahwa akhirnya kau, setelah bertahun-tahun telah membuatku gila. Aku menerima, sepertihalnya menerima kepura-puraanmu tentang pertemuan-pertemuan kita selama ini. Setelah ini, aku sadar, takkan ada lagi yang mampu memecahkan lamunanku. Aku adalah pihak yang terluka. Rasanya aku tak mampu lagi menolehmu.

Aku telah berkata terlalu banyak, berbuat terlalu banyak. Aku menyintaimu, tetapi mungkin aku telah menyiksamu tanpa pernah kusadari. Penyesalan bertumpuk-tumpuk mengusikku di setiap kesunyian malam. Kau, lelaki yang sudah membenciku selamanya, dan aku hanya bisa menyalahkan diriku sendiri. Aku jadi merasa takut akan datangnya musim yang tak pernah tak berganti. Mungkin aku memang pantas dibenci. Tuhan tahu itu, seperti yang tak pernah ku sadari, aku sudah cukup melukaimu. Sejak kuyakin kau takkan lagi menolehku, aku seakan di dunia lain, tapi ini nyata. Meski aku sulit tuk menyadari bahwa aku memang gagal mempertahankanmu.

Aku yang tak pernah mau menetapkan diri bahwa kau tak pernah menginginkan keberadanku. Kini seperti melemparkan diri ke dinding batu. Dan aku sadar, ini harus dihentikan.

Ku akui tidak ada yang akan mengubah hubunganku denganmu yang terasa makin dangkal. Sudah waktunya aku menjauh darimu untuk selamanya. Mencoba melawan emosiku terbukti tidak berhasil, dan setiap kali melihatmu, rasanya aku akan semakin sakit hati. Dan dengan keras kepala, aku harus menutup hatiku dengan aman dalam peti es. Kini, setelah bertahun-tahun menantimu, berharap, dan menderita, hanya agar bisa bersamamu sewaktu-waktu.

Tapi kini aku memenuhi undanganmu tuk mendengarkan lagi kata-katamu. Aku sudah terlalu lama hidup dalam penantian. Aku harus mencari kehidupan untuk diriku sendiri tanpamu, betapapun hal itu akan menyakitiku. Dan sekali lagi, aku siap mengambil resiko. Tanpa harus merasa kehilangan apapun. Aku tetap dengan diriku. Dan aku bukan perempuan yang akan membiarkan kesendirian menggerogoti akar kehidupanku. Meskipun kau tak lagi menolehku.

Mungkin aku tak mau lagi mendengarkan kata-katamu. Apalagi menatap sorot matamu. Biarlah yang terjadi padaku karena ketakutanku yang begitu tolol. Kau lelaki matang dan layak untuk berkomitmen. Sedang aku? Aku perempuan yang tak lazim disebut perempuan. Aku adalah perempuan berumur yang tak pernah menyadari kebutuhannya sebagai perempuan, itu yang selalu mereka tuduhkan padaku. Padahal, aku seperti ini karena aku ingin hidup dengan caraku sendiri, dengan tak harus mematok segalanya dengan penuh kekhawatiran.

Aku terbiasa melewati jalan yang penuh terjal. Penuh perdebatan. Membiarkan segalanya begitu kusut, dan jangan coba-coba mengambil benang merahnya atau bahkan coba-coba meluruskannya. Aku ingin semuanya tumbuh dan mengalir apa adanya. Dengan begitu aku akan berusaha membuat segalanya seperti yang kuinginkan, tidak kurang tidak lebih. Hal itu juga membuatku terlindung dari segala macam keterlibatan emosional. Aku akan tetap mendaki, berpikir dan bergerak lagi untuk meluruskannya sendiri, tanpa uluran tanganmu ataupun kecupan lembutmu di ubun-ubunku, tanpa harus meminjamkan bahumu untuk gundahku.

Inginku, suatu saat kau menjadi duniaku, dunia yang ingin ku raih sendiri dengan segala dayaku, dan inginku. Bukan dunia yang seperti kau dan mereka pikirkan. Bagiku, banyak cara manusia untuk tetap hidup tanpa harus mengikuti arus kehidupan yang ada.

Aku perempuan yang mempunyai sejarah sendiri, dan bukan perempuan yang mau mengulang sejarahnya dengan lelaki yang nyaris membuat duniaku terasa sempit, terbatas, dan membingungkan. Aku yakin, tak semua perempuan adalah perempuan, karena Tuhan tidak menggunakan jari-jarinya dari satu tangan. Biarlah semuanya berjalan apa adanya. Biarlah aku menemukan diriku dalam dunia entah. Karena dunia yang sebenarnya, terlihat begitu munafik. Semua manusia ingin diperhatikan, ingin diakui lebih dan berbeda. Mustahil semuanya berjalan

Minggu, 12 Oktober 2008

tentang jiwa yang lain (1)

Hujan, Pulanglah

Oleh : Yetti AKA (January,2,2008)

Runi tidak tidur. Angin Oktober menghempas dinding bercat putih. Senja tadi sedikit gerimis, bisa jadi akan hujan. Runi mulai rindu nyanyi katak dalam rawa. Selain Runi, tidak seorang pun suka suara katak, terlebih Yayu, anaknya. Yayu bilang suara katak mengerikan bila terdengar tengah malam sehabis hujan. Karenanya ia senang sekali mengetahui rawa-rawa itu akan ditimbun dalam waktu dekat, dan rumah-rumah sederhana segera berdiri di atasnya berikut fasilitas umum. Kasihan katak-katak di sana, pasti mereka mati semua, Yu, kata Runi agak melankolis. "Ibu semakin mirip Ayah, semua dibawa ke dalam hati." Yayu cepat-cepat pergi. Sedangkan Runi terlongo sendiri mendapati perasaan Yayu semakin kaku.

Hujan, pulanglah.

Kau nakal, bisik Runi sendu, ia membuka lagi pesan singkat suaminya, seseorang yang sedang tertawan sepi. Sudah sekian hari mereka berpisah. Ini untuk pertama kali. Mereka seharusnya tetap bersama, jika saja Yayu tidak memintanya ke Bengkulu. Pulang kampung sekali-sekali, Bu. Kami semua kangen, terlebih cucu-cucu Ibu. Bukankah Ibu sudah lama sekali tidak menginjakkan kaki di tanah yang terus menahan rindu, begitu ujar Yayu.

Seharian Runi memikirkan ucapan Yayu. Anak perempuannya itu masih ingat cara mencubit perasaannya, membuat ia tergugah. Bengkulu selalu saja menahan rindu. Kadang memang tak perlu berucap sedikit pun. Ia ada: seperti getar. Begitu kira-kira isi surat seorang sahabat padanya (seseorang yang pergi pada pagi muda). Runi menutup kedua mata. Banyak kenangan kembali mekar dalam ingatan. Kota kecil berudara sejuk, tanah kosong bersemak, jalan-jalan belum dipadati kendaraan umum, pasir putih berkilau, rumput-rumput hijau di samping rumah, Fort Marlborough, perayaan Tabut, rumah pengasingan Soekarno, dan Raffles Park.

Raffles Park. Jangan bayangkan jika tempat itu sebuah taman penuh bunga dan burung- burung kecil hinggap di tanah mematuk serangga, cacing, remah roti, sementara orang-orang menikmati Minggu pagi bersama keluarga atau kekasih di atas bangku-bangku kayu dalam kehangatan cuaca bulan Juli. Di sanalah Runi bertemu penyair itu. Sore hari warna jingga. Di taman yang tidak lain sebuah monumen kematian seorang residen Inggris dalam peristiwa mount felix, Thomas Parr. Perkenalan yang terasa aneh, mendebarkan. Mereka berbincang singkat.

"Bisakah pertemuan ini diteruskan. Kita saling meninggalkan nomor handphone dan alamat rumah sebelum pamit," begitu kata lelaki itu.

"Maksudmu?" Runi tidak cukup mengerti.

"Pertemuan ini, bagiku, tidak cukup sekali. Jika tidak ada pertemuan kedua di sini, bolehkah aku memintanya di tempat lain."

Wajah Runi memerah dan ia tetap tidak percaya lelaki. Ia pergi. Buru-buru menjauh. Lelaki itu tidak mampu mengejarnya.

Maka lelaki itu melepaskannya. Kali itu.

Besoknya Runi kembali ke taman. Berkali-kali. Selalu lengang dan dingin, selayak kuburan. Hanya ada orang-orang lewat atau kesibukan pasar Brokoto, tidak jauh dari Raffles Park. Ia menunggu, sebagai seseorang yang terjerat. Ini sulit dibayangkan, sebab ia sering meyakini hanya akan menyerahkan hati pada pemilik sebentuk bibir cokelat muda yang tidak sengaja tertangkap mata tengah menghirup kopi di sudut kafe sambil membaca sebuah buku. Lelaki yang sungguh seksi, bukan? Tapi kemudian, entah kenapa, hatinya terasa hanyut ke arah seorang pengembara kumal yang tertangkap mata tengah memandangi bangunan beratap bulat telur yang disebut Raffles Park itu. Sekilas, ia lelaki yang terlalu biasa. Rambut tipis sebahu. bibir kelewat cokelat. Mata terlihat merah dan berat.

"Bisakah pertemuan ini diteruskan." Runi mendengar suara itu lagi. Berulang kali, seperti kerumunan lebah sedang memburu si penganggu.

Runi berkata, “Bawalah aku.”

"Bila kau mau jadi hujan, aku akan membawamu hingga kau tidak bisa kembali."

Hujan. Runi menggigit ujung kuku yang mulai panjang. Lelaki itu sering memanggilnya hujan. Runi suka sekali panggilan itu. Romantis manis. Runi rindu. Juga bau rokok yang pekat itu, yang kadang membuat Runi harus mencak-mencak karena ia tahu betul lelaki itu tidak bisa merokok lebih dari dua batang dalam sehari karena sesak dada.

"Kau pergi saja sendiri, Run. Aku tidak bisa meninggalkan rumah. Siapa yang akan menjaga bunga-bunga, menyiram tanah yang mengering dalam pot. Pergilah akhir bulan ini. Beberapa hari saja kau di sana," begitu cara lelaki itu menolak pergi bersama Runi. Perjalanan bukan lagi milik lelaki itu. Ia lebih menikmati tinggal di rumah, merawat bunga-bunga. Lelaki yang jatuh cinta pada bunga, Runi sering berkelakar. Ya. Di mana-mana banyak lelaki mulai mengerti bunga, mencari dan memeliharanya. Bahkan obrolan para lelaki, lebih sering tentang nama-nama bunga baru, harganya berapa, dan di mana bisa mendapatkannya.

"Yayu minta awal bulan ini. Menurut Yayu, cucu-cucu kita sangat berharap sebulan penuh aku bersama mereka, jalan-jalan sore menyusuri Pantai Panjang dan Tapak Padri. Kau tahu kan mereka suka sekali lihat laut."

"Tapi kau juga tahu aku tidak terlalu suka sendirian, Run. Aku tidak biasa tanpa kawan bicara. Kau masih ingat, bukan? Seseorang yang mulai tua acap kali merasa ketakutan tak bersebab."

"Aku tidak mau cucu kita sedih. Sekali saja, masa tidak bisa memenuhi keinginan mereka." Runi menatap suaminya, minta sedikit pengertian, dan sekilas ia melihat persetujuan itu menyala kecil di mata lelaki yang suka memberinya kata-kata, sejak dulu, ketika mereka berpacaran.

"Terima kasih, kau masih saja mau mengalah," ujar Runi haru. Mereka bertatapan lama, seperti jatuh cinta pertama kali di Raffles Park.

Siang itu Runi berangkat dari Padang. Suaminya mengantar ke loket. Mereka berpisah saat bus membawa Runi, dan lelaki itu membalikkan punggung menuju arah pulang ke rumah bunga yang memancarkan kehangatan kombinasi warna-warna. Di sanalah perasaan lelaki itu bersinggah, tempat kawan bercakap selain Runi, menceritakan segala hal; kedengkian, rasa cemburu, kemiskinan, kebodohan, korupsi, kesedihan, juga kebahagiaan.

Untuk itu sudah beberapa hari ini Runi gelisah. Lebih-lebih seusai gempa mengguncang Sumatra. Sore itu, bukankah ia hampir menangis membayangkan penyair tua membuat puisi dari retak tulang. Betapa sesungguhnya lelaki itu tetap saja tidak bisa sendirian, tanpa kehadiran dirinya.

"Semua baik saja, Run?" begitu suaminya menelepon beberapa jam setelah itu.

Runi gemetar dan hanya berkata, "Aku ingin bersamamu." Lalu Runi menangis sampai telepon terputus.

Besoknya Runi bilang pada Yayu ingin kembali ke Padang. Ia tidak bisa membiarkan kecemasan menumpuk dalam dirinya, membuat ia menjadi seseorang yang tidak lagi berbahagia.

"Jangan sekarang, Bu. Jangan sakiti anak-anak. Mereka sudah membangun mimpi itu sejak lama, jauh sebelum Ibu memutuskan datang ke sini." Wajah Yayu agak tegang.

Runi bingung. Cucu-cucunya tidak boleh merasa kecewa. Ia mau menjaga perasaan mereka. Kasihan jika mereka harus kehilangan wajah lucu. Runi menyerah, menyandarkan punggung ke dinding dan minta ditinggalkan sendirian. Beberapa jam Runi membiarkan sudut matanya basah.

Tersenyumlah selalu, Runi. Aku suka wajahmu yang berkeringat itu dihias senyuman.

Runi belum lupa cara penyair membujuknya. Lalu Runi mulai tersenyum, lebih manis dari biasa.

Malam ini Runi juga tersenyum saat membaca lagi pesan singkat suaminya: Hujan, pulanglah.

Runi bisa mengerti betapa kosong ruang dada lelaki itu, tempat biasanya ia berlindung.

Lalu hujan turun. Seharusnya Runi senang, katak-katak di rawa akan segera bernyanyi seusai hujan, menghibur hatinya yang nelangsa, tapi tiba-tiba di mata Runi berkelebat orang-orang dalam tenda warna-warni, anak-anak kecil kekurangan susu menangis semalaman, dan orang-orang setua dirinya menahan reumatik di tengah serbuan hawa dingin. Penyair, beri tahu aku, puisi macam apa ini, teriak Runi dalam gemuruh hujan yang makin lebat.

***

Hujan di sini, Run, tidak henti -henti. Bagaimana di sana. Ah, kau bilang cuma sekali saja hujan, hanya malam itu, saat kau tidak bisa tidur. Apa kau dengar nyanyian katak, Run. Tidak, aku tidak dengar suara katak, katamu ketika itu. Kau malah menangis, mirip anak kecil. Berhenti menangis, Run, Tersenyumlah selalu. Aku suka wajahmu yang berkeringat itu dihias senyuman.

"Kau nakal." Beberapa kali Runi berkata demikian bila ia menelepon. Suara Runi tetap saja manja.

Lelaki itu kembali menyalakan api rokok, untuk yang ke lima. Bila ada Runi, pasti saja Runi akan bilang: Coba saja, Penyair, jika kau habis lima batang, maka aku dapat melakukannya hingga sepuluh.

Ia tidak pernah bisa membuat Runi marah. Lelaki itu pasti berhenti, dan menunjukkan bahwa ia seseorang yang pantas dicintai. Tapi kini perempuan itu jauh darinya. Alangkah pahit pagi tanpa Runi. Tanpa seseorang yang menyuguhkan dua gelas kopi dan surat kabar di meja bambu.

"Bawalah aku."

Kata Runi pasti. Maka, bukankah ia telah membawa Runi meninggalkan berkotak-kotak kenangan di kota itu, bertahun-tahun lalu. Mereka pergi sebagai sepasang manusia tanpa ikatan pada sebuah tempat. Bagiku, Runi, setiap tanah adalah rumah, tempat aku memahat kata-kata. Tidak ada kampung halaman dan kata pulang. Maka jika kau mau jadi hujan, aku akan membawamu dan mungkin kau tidak bisa kembali.

Runi mau jadi hujan. Bersedia menjadi seseorang yang direbut dari masa lalu. Tidak apa, ujar Runi penuh keyakinan, aku dan kau akan pergi ke setiap jengkal jalan, ke kota-kota lengang, atau tempat-tempat yang bahkan kita belum tahu sama sekali apa namanya.

Itu janji Runi pada penyair, pada seseorang yang menyerahkan hidupnya pada kata sepi.

Bertahun-tahun mereka pun sudah terbiasa bersama.

Sungguh pahit bila kini Runi tidak menemaninya. Ia padam. Seseorang yang bahkan tidak bisa lagi berdiri hanya untuk sekadar membuat segelas kopi, mengambil surat kabar di bawah pintu, membuka jendela, menyapa dedaun pagi hari dan matahari.

"Hujan, pulanglah." Lelaki itu menghitung gelas-gelas dengan sisa kopi sudah mengendap dan basi. Ia menyeringai. Runi belum akan pulang padanya. Masih beberapa lama lagi.

Ia tidak mungkin menunggu selama itu. Ia merasa ada yang akan datang menagih janji, menjadikannya sebuah puisi yang abadi.

hujan selalu pulang, menyapa bekas jejak yang mengering. orang-orang menanti, bermusim hujan jadi rindu perdu dan kenangan kekasih bunga. pulanglah selalu hujan.

Recipient:

seruni

Sent:

05:21:05

03-10-2007

***

Runi bangun tidur ketika pesan singkat—tentu saja hanya dari lelaki itu–sampai padanya. Lama Runi termenung. Sesuatu yang terasa ngilu tiba-tiba menyerang dada, membuat ia merintih panjang, seakan-akan ia amat sendiri dalam rumah bunga yang telah layu.

"Kau kenapa, Sayang," Runi bergumam, "Kau harus menungguku, aku akan segera pulang sebagai hujan. Jangan ke mana-mana, sambutlah aku di muka pintu."

Hujan turun pagi itu. Deras.

Sumber : Media Indonesia Online

Tentang Jiwa yang lain (2)

Jalan Soeprapto

Yetti AKA (April 2, 2008)


TURUN di Simpang Lima lepaslah pandang ke arah patung kuda. Beberapa waktu lalu -aku lupa tepatnya kapan, segalanya cepat berubah, tiba-tiba aku sudah berada di tempat asing dengan segala sesuatu serba baru- bukan patung kuda itu yang berdiri di sana, melainkan patung perahu indah yang mampu membawaku ke dunia khayali; pelayaran ke pulau-pulau rempah di tengah lautan luas pada masa dulu, embusan angin menerobos batas-batas, membuat asin laut menguar di desa-desa nelayan pinggir pantai. Kenapa kukatakan demikian, karena aku memang sangat suka apa pun tentang laut, terutama perahu-perahu nelayan yang mengembangkan layar melawan cuaca buruk dan ombak besar pada waktu tertentu. Eksotis.


Dan kau malah mengajakku bertemu di Simpang Lima, sebab hanya tempat itu yang paling kau inginkan setelah aku menolak tawaranmu bertemu di hotel tempat kau menginap. Celakanya lagi, aku sudah berkata, "Baiklah, tunggu aku."


Kau mengancam, "Awas kalau terlambat. Aku bisa menghukummu, Nona."


Aku tidak tahu apa aku benar-benar menginginkan pertemuan itu, bahkan ketika aku sudah menunggumu, berdiri di pinggir jalan menghadap patung kuda yang tidak terlalu kusukai itu. Aku merasa biasa-biasa saja, seakan kedatanganmu bukan lagi sesuatu yang bisa mengaduk-adukku. Terlebih, sebelum ini kita sudah membuat sejumlah janji pertemuan di kota lain. Hubungan pertemanan yang hangat, begitu kita beralasan tentang pertemuan demi pertemuan itu.


Seorang diri di tepi jalan, dekat traffic light, aku menjelma sebutir buah jatuh yang diabaikan orang-orang. Aku hanya bisa menciptakan keasyikan sendiri dengan menerka-nerka berapa nomor sepatu orang yang lewat di depanku atau menguping sebuah rahasia tidak terduga tentang penyelewengan dana sebuah kantor pemerintah dari dalam mobil berkaca gelap. Tapi sayang, seorang pengamen justru mendekat ke arahku, minta permisi menyanyikan sebuah lagu sendu era 80-an. Mataku terasa sedikit tegang sebelum lagu itu benar-benar berakhir. Kemudian pengamen itu bertanya, bagaimana kalau satu lagu lagi. Aku tertawa. Pengamen itu pergi setelah ia menyanyikan sejumlah lagu lama.


Aku kembali sendiri, dan aku lebih suka begini. Tanpa siapa-siapa. Aku bisa menyaksikan banyak hal. Seperti di ujung sana, tepat di depan lampu merah dari arah Jalan Soeprapto, aku melihat kerumunan anak-anak tibatiba pecah seperti bunga durian gugur ditiup angin. Berserakan. Pertunjukan itu dimulai -drama yang seharusnya bisa menganggu perasaan siapa saja bila kebetulan lewat di sana. Dari manakah mereka datang. Aku tahu pasti, tempat ini hanya kota kecil yang dulu begitu lugu dan memiliki harga diri. Nyeri sekali, rasanya, bila sekarang mendapati mata bening kanak-kanak yang lucu berhamburan di jalanan. Anak-anak itu dengan mudahnya berbohong; memasang mata sedih, memelas-melas, bahkan terkadang setengah memaksa. Siapa yang merebut dunia bermain mereka. Dunia bau kencur atau seumur jagung itu.


Aku ingin sekali memikirkannya lebih serius sekali waktu. Ya suatu pagi, barangkali, ketika aku bangun tidur dan menyeruput segelas jus belimbing sambil menunggu embun benar-benar luruh dari dedaunan. Saat-saat di mana hatiku sedikit ringan. Sedikit lepas. Bukankah kita perlu berada dalam situasi yang tepat untuk berpikir tentang sesuatu, sekecil atau sesederhana apa pun itu.


Tiga puluh menit aku menunggu, kau baru muncul. "Apa aku membuat Nona menunggu lama," kau terlihat santai. Pipiku sudah merah terbakar. Aku tidak bisa lagi tersenyum. Hatiku terasa keras. Kita jalan berdiam-diam, dari Simpang Lima hingga Jalan Soeprapto tanpa tahu tujuan kita sesungguhnya.


"Kita cari makan yang enak," suaramu terdengar lebih tenang, jernih dan terkendali. Tidak sepertiku, lebih sering meledak-ledak, terutama dalam keadaan marah atau terpojok. Kau pernah bilang, begitulah kebanyakan perempuan, suka bermain hati. Kalimat yang sama sekali tidak aku sukai karena seolah di balik kata-kata itu kau mau berkata, laki-laki tentu tidak demikian, mereka lebih rasional, lebih cerdas karena itu mereka ditakdirkan berdiri di depan.


Aku menahan sesuatu di dada. Bukan waktu yang tepat untuk berdebat soal lelaki dan perempuan. Bukan tempat yang tepat.


"Hei," kau memecah ketegangan di kepalaku.


"Bagaimana kalau minum teh’di rumah saja," tawarku nyaris kehilangan semangat. Aku sengaja bersikap begitu agar kau menyadari kalau aku mulai tidak menyukai situasi.


"Tidak. Tidak. Itu bukan ide yang bagus. Kau tidak boleh berpikir apa pun mengenai rumah karena kita tidak akan pulang sebelum menghabiskan waktu di bawah langit kelabu ini. Ingat, seminggu lalu aku sudah minta sedikit waktu padamu dan kita sudah sepakat saat kita membuat janji pertemuan di kota kecilmu ini. Aku sama sekali tidak berharap kau mengkhianatinya."


Aku tersenyum malas,’berdecak kecil. Kukira, kota tempat aku tinggal tidak menempatkan urusan makanan di tempat yang paling penting, sebagaimana kota-kota lain. Teman-temanku bilang, itu karena tradisi orang-orang di sini yang lebih senang makan di rumah ketimbang di luaran. Bisnis makanan akhirnya tidak begitu ramai. Untuk itu jika suatu hari menginjakkan kaki di kotaku, jangan tanyakan tempat makan yang enak. Aku tidak akan pernah tahu ke mana membawamu, selain ke rumahku. Aku bisa menyuguhkan segelas teh aroma melati dan satu toples kacang tojin sebelum hidangan makan malam di meja makan, tentunya. Tapi kau telah menolaknya sebelum aku berpikir apa aku harus mengganti menu kacang tojin itu dengan yang lain atau mengganti teh aroma melati dengan aroma asam manis kopi Sumatera.


Kau tertawa sangat lebar, "Kenapa kelihatan bingung."


"Entahlah," ujarku ringan.


Tawamu tertahan. "Aku tahu kau sedang berpikir ingin mengacaukan pertemuan ini, dan kau tengah memainkan perasaanmu."


Kembali kita saling diam. Kaki kita bergerak lambat menyusuri Jalan Soeprapto yang tidak terlalu ramai; beberapa remaja berseragam sekolah tertawa ceria, penjual CD bajakan di pinggir jalan tengah termenung dan sesekali berusaha tersenyum pada orang-orang berwajah dingin yang kebetulan lewat. Berada di Jalan Soeprapto, mengingatkanku pula pada beberapa kawan. Andom dengan bukubuku tergelar di lantai dingin depan sebuah toko manisan (barangkali milik Cina), masihkah dia memasang tulisan "menerima buku bekas". Juga Bagus dengan macam-macam kerajinan dari kulit kayu. Lalu sedang melukis apakah Safrin dan Topik sore ini, ketika udara mulai terasa panas dan awanawan bergerak lambat di langit sana. Acank, apa kabar. Mungkin saja ia tengah mengaransemen sebuah lagu baru atau menulis puisi pendek. Sudah lama aku tidak bertemu mereka. Beberapa bulan ini aku lebih sering keluar kota, mengikuti seminar atau acara. Alasan lain, bisa jadi karena aku mulai ngeri berada di Jalan Soeprapto, apalagi harus melewati Simpang Lima, tempat puluhan mata kanak-kanak dibiarkan berhamburan. Bergulir begitu saja.


"Tunggu sebentar, aku belikan kau es krim." Kau berhenti dan singgah di salah satu restoran siap saji yang sedang sepi pengunjung.


Beberapa menit kemudian kau keluar dengan dua mangkuk kecil es krim rasa vanilla yang disiram coklat di atasnya. Kesukaanku.


"Kau gila," kataku,"’kita jarang sekali menemukan seseorang makan es krim sambil berjalan di sepanjang Jalan Soeprapto, apalagi ia seorang perempuan, dan berumur hampir tiga puluh tujuh tahun."


"Kalau lelaki?"


"Kadang lelaki bisa makan di mana saja. Mana ada orang yang begitu peduli. Lelaki bebas peraturan."


"Lelaki yang malang, hahaha…." Kita tertawa begitu ekspresif. Hatiku lumer sebagaimana es krim mulai menetes di jejari tanganku. Sudah lama aku tidak begini terbuka, telah bertahun-tahun ini. Tepatnya sejak aku menolak seseorang yang mencuri seluruh diriku, dari ujung rambut sampai ujung kaki, karena satu alasan: aku benci sebuah pernikahan, sementara dia menganggap sudah waktunya untuk menikah atau akan terlambat. Perpisahan yang membuatku demikian biru. Beberapa hari aku hanya bisa berada di tempat tidur. Membuka kembali beberapa surat lama dan merobeknya kecilkecil jika ternyata aku tidak menyukai beberapa kata di dalamnya.


Kami memutuskan duduk di depan toko sepatu, dekat sekelompok anak muda menjual macam-macam souvenir.


"Kenapa kau ingin kita bertemu di kota kecil ini," aku bertanya pelan.


"Kau terlalu terburu-buru," sindirmu.


Kembali kami tertawa, tidak peduli menjadi tontonan orang-orang.


"Waktu bergerak cepat, bukan. Sebentar lagi malam datang," kataku.


"Aku ingin kita ditawan malam tepat di Jalan Soeprapto ini, tempat sepuluh tahun lalu kau menolakku. Dulu aku terluka jika mengingat peristiwa itu, tapi sekarang aku sudah bisa tertawa."


Aku menangkap segaris sembilu keluar dari tubuhmu, dan matanya mengarah tajam ke dadaku. Jangan. Jangan. Itu sudah berlalu. Telah diredam waktu. Aku merintih. Aku mengeluh. Aku cair bersama sisa es krim dalam mangkuk kecil. Aku ingin jadi es krim. Manis. Harum. Lezat. Terutama karena es krim disukai anak-anak. Aku mau anak-anak. Pipi montok, aroma bedak, minyak telon dan tangis keras malam hari. Tapi aku tidak bisa menikah. Aku takut tidak cocok. Aku ngeri membayangkan perpisahan. Agamaku melarang perceraian kecuali kematian. Lelaki itu meniup udara kosong. Aku menyandarkan tubuh yang mulai terasa berat pada tiang bercat putih kusam. Sampai hari gelap, aku dan dia belum beranjak. Kami hanya diam serupa patung perahu di Simpang Lima. Aku tinggalkan dia. Aku berlayar naik perahu itu. Pelayaran yang hening dan sepi. Hingga dia menarikku kembali dan berbisik, ayo kita pulang! Dan aku tahu, itu artinya aku dan dia sudah berakhir.


Sepuluh tahun, dulu.


Sudah berlalu. Jauh.


Kini ia kembali tumpah dan berceceran di Jalan Soeprapto. Betapa aku ingat sekali detailnya, betapa aku ingat warna muram hari malam. Burung-burung walet berterbangan di atas ruko di Jalan Soeprapto. Suara mereka riuh, membuat tubuhku meremang. Suara yang membuatku tidak pernah nyaman mendengarnya. Entah ada apa.


Jalan Soeprapto akan makin tua. Orang-orang pergi. Kau pergi. Lantas aku menjadi perempuan yang menumpuk ketakutan-ketakutan di atas kedua kaki. Lalu masihkah mata kanak-kanak akan berhamburan di Simpang Lima, dan tidak pernah tahu jalan pulang, seperti aku yang tidak pernah bisa pulang pada lelaki.


"Kau tahu besok barangkali matahari benar-benar lupa untuk kembali hingga kita terkurung dalam malam selama-lamanya," kau berbisik.


Aku tidak mungkin bisa, kataku untuk kesekian kali. Aku harus keluar dari Jalan Soeprapto, melangkahkan lagi kedua kakiku yang makin berat ke tempat-tempat terjauh. ***

(sumber: adaapa.info.com)

Jumat, 26 September 2008

Ramadhan: dari orang-orang yang terpinggirkan hingga ketinggian spiritualitas

Oleh: Alimah


Apa yang membuat bulan Ramadhan menjadi begitu penting? Mengapa tidak seperti ini saja setiap bulan?. Mungkin pernah terlintas dalam pikiran kita pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sederhana sekali, ini erat kaitannya dengan kondisi manusia. Kita belum mampu mempertahankan satu level kesadaran akan Allah selama setahun penuh. Seandainya kita mampu, Ramadhan tidak akan lagi menjadi Ramadhan. Pun, jika musim panas tidak diimbangi dengan musim dingin, ia hanya akan dianggap sebagai “suatu waktu”, bukan sebagai “musim panas”. Maka jangan pernah bertanya mengapa tidak musim panas saja selamanya. Lebih baik bertanya “apa yang harus dilakukan pada musim panas agar kita bisa menikmatinya dan tetap menyiapkan datangnya musim dingin”.


Mari kita tengok sekilas sejarah Nabi Muhammad SAW terkait bulan suci ini. Bulan ini merupakan suatu masa ketika Nabi secara rutin berdiam diri di pegunungan Makkah untuk memohon perlindungan dari kejahatan dan ketidakadilan masyarakat Arab sebelum Islam. Di Gua Hira-lah ia menerima wahyu pertama. Lama setelah itu, setelah Islam meluas, praktek i’tikaf—berdiam diri di masjid selama satu bulan penuh dan sepertiga terakhirnya—menjadi kebiasaan di antara orang-orang muslim yang ahli ibadah. Bulan ini diakhiri dengan menyucikan diri dengan zakat fitrah, semacam sedekah yang diberikan pada fakir miskin untuk mengesahkan puasa dan memastikan bahwa puasa yang telah dilaksanakan layak dirayakan.


Di sini, kita bisa merefleksikan beberapa kesulitan dan keuntungan yang ditimbulkan oleh bulan Ramadhan: masalah orang yang terpinggirkan (orang miskin dan perempuan), masalah sulitnya memberi makanan jiwa, dan terakhir, relevansi puasa dengan kehidupan kita saat ini.


Seringkali, saat kita merenungkan tentang penderitaan yang ada di sekililing kita—semua terjadi karena tangan kita sendiri—seakan heran mengapa Allah masih membiarkan dunia ini tetap hidup. Apakah ini karena ibadah dan keikhlasan sedikit orang yang dalam beberapa waktu yang lama hanya untuk shalat dan berkontemplasi.


Tetapi, dengan pikiran menghibur semacam ini masih saja ada mendung gelap. Meskipun di beberapa belahan dunia perempuan juga sering mengisi masjid, kegiatan berdiam diri di masjid selama sepuluh hari terakhir bulan ramadhan dibatasi hanya untuk laki-laki. Respon terhadap kesadaran akan keadilan gender (relasi antara laki-laki dan perempuan) dalam Islam atau dalam masyarakat Islam, memang sangat beragam. Sekali lagi di sini kita seakan menemukan persekongkolan antara ketidakadilan dengan agama terhadap perempuan.


Hari-hari terakhir Ramadhan juga diperuntukkan bagi setiap orang yang berpuasa agar ikut andil dalam sesuatu yang disebut sebagai “harga hari raya” bagi orang-orang yang tidak mampu. Hasil yang minimal diperbaiki dan disucikan sebelum seseorang bersujud di pagi hari pada hari raya yang menandai berakhirnya Ramadhan.


Dengan demikian, kita diingatkan bahwa kewajiban puasa—di samping demi kedisiplinan kita sendiri serta mendapatkan ridha Allah—juga berkenaan dengan tanggung jawab terhadap sekeliling kita. Karena Ramadhan sendiri merupakan bulan yang menunjukkan kasih sayang Allah yang tinggi. Selain itu, menunjukkan perjuangan yang lebih intensif untuk meraih kedekatan dengan Allah menahan diri dari makanan, minuman, aktivitas seksual dari fajar sampai matahari terbenam di satu sisi, dan meningkatkan aktifitas ibadah di sisi lain. Aktivitas itu akan berlangsung selama satu bulan, dan merupakan bagian intrinsik dari perjuangan ini.

Akan tetapi, Ramadhan ada yang lebih penting dari pada aktifitas formal di permukaan. “banyak orang,” kata nabi, “berpuasa tapi tidak mendapatkan apa-apa selain rasa lapar, dan shalat tetapi tidak mendapatkan apa-apa selain rasa lelah.”


Puasa merupakan satu pilar Islam, dan sebagaimana pilar semenarik apapun bentuknya dari waktu ke waktu dimaksudkan untuk menyanggah struktur: kita membangun di atasnya. Dengan demikian, selama satu bulan itu kita diajak untuk belajar tentang kedisiplinan, kesabaran, pengendalian hawa nafsu dan pengorbanan. “jika ada orang yang ingin mengajakmu berdebat maka katakanlah aku sedang puasa” kata Nabi.


Puasa, sekali lagi, disamping untuk memperoleh Ridha Allah, pengendalian diri selama sebulan ini lebih banyak berkenaan dengan orang lain dan dengan bagaimana kita berhubungan dengan mereka. Kekhusyukan membutuhkan momen-momen tertentu untuk melakukan refleksi dan ibadah dengan tenang, tapi Ramadhan bukan semata-mata untuk itu; ramadhan adalah tentang menguji keimanan seseorang di dunia nyata, di mana selalu ada peperangan antara keadilan dan ketidakadilan.


Bukan kesempurnaan, tapi peningkatan


“Harga hari raya” bagi orang-orang yang tidak mampu, merupakan bagian ramadhan yang menarik. Meskipun untuk waktu yang lama kita sempat percaya, bahwa sebab utama mengapa banyak orang meninggal akibat kekurangan makan, adalah karena ada beberapa orang yang terlalu banyak makan. Karena itu, kita juga harus merenungkan dari mana datangnya kedermawanan dan kebaikan.


Seringkali semua ini mengimplikasikan bahwa orang-orang miskin akan selalu ada. Bahwa kita membutuhkan mereka untuk menyucikan diri kita sendiri. Sehubungan dengan hal ini, ada fakta lain yang juga amat meresahkan. Banyak ulama, dan tentunya orang-orang muslim yang punya kesadaran social, sering mengatakan bahwa salah satu alasan kita berpuasa adalah untuk berbuat kebaikan kepada orang miskin dan orang yang kelaparan. Bukankah itu berarti kita beranggapan bahwa orang Muslim itu kaya atau setidaknya berkecukupan? Siapa yang membangun wacana bahwa yang kaya adalah subyek agama, yang miskin adalah obyeknya dan kita meski tanpa sadar beranggapan bahwa mereka tidak berpuasa atau tidak harus berpuasa?
Kini kembali lagi ke pertanyaan awal. Apa yang membuat bulan Ramadhan menjadi begitu penting? Mengapa tidak seperti ini saja setiap bulan?. Benar bahwa kita belum mampu mempertahankan satu level kesadaran akan Allah selama setahun penuh. Ini juga tentang betapa sulitnya mempertahankan ketinggian spiritual.


Seandainya kita mampu, Ramadhan tidak akan lagi menjadi Ramadhan. Pun, jika musim panas tidak diimbangi dengan musim dingin, ia hanya akan dianggap sebagai “suatu waktu”, bukan sebagai “musim panas”. Maka jangan pernah bertanya mengapa tidak musim panas saja selamanya. Lebih baik bertanya “apa yang harus dilakukan pada musim panas agar kita bisa menikmatinya dan tetap menyiapkan datangnya musim dingin”.


Diumpamakan perahu-perahu yang aman di pelabuhan, dan ini membuat kita ingin terus berada di sana, tetapi bukan itu alasannya mengapa perahu dibuat. Bulan puasa adalah masa di mana kita kembali ke dermaga untuk membenahi jiwa yang rusak dan mempersiapkan perjalanan berikutnya untuk menjadi lebih dekat dengan Allah dengan ke-diri-an kita yang lebih mulia, dengan alam dan dengan sesama manusia.


Tetapi baru beberapa hari setelah Ramadhan berakhir, ternyata jalan tidak semulus saat perahu-perahu berada di dermaga. Bahkan bagi sejumlah orang, berdiam diri di dermaga itu sendiri menjadi sedikit membosankan di tengah jalan. Kita tidak lagi pergi untuk shalat tarawih. Intensitas ritual kita terkesan hancur semuanya disebabkan beratnya persiapan menghadapi perayaan Idul Fitri, hari kemenangan.


Lalu apa artinya awalan yang kita buat kalau kita tidak mempertahankannya. Buat apa kita berpuasa kalau kita tidak shalat lima kali dalam sehari. Kewajiban kita adalah untuk memastikan bahwa pada pelabuhan berikutnya, kondisi kapal kita lebih baik dari sebelumnya. Artinya bahwa bulan ramadhan berikutnya kita lebih baik dari sebelumnya.


Fakta bahwa kita tidak akan atau tidak mampu mengerjakan segala hal, bukanlah satu alasan yang kuat untuk menolak melakukan suatu hal. Karena bukan kesempurnaan yang ingin kita raih, akan tetapi peningkatan.