Jumat, 26 September 2008

Ramadhan: dari orang-orang yang terpinggirkan hingga ketinggian spiritualitas

Oleh: Alimah


Apa yang membuat bulan Ramadhan menjadi begitu penting? Mengapa tidak seperti ini saja setiap bulan?. Mungkin pernah terlintas dalam pikiran kita pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sederhana sekali, ini erat kaitannya dengan kondisi manusia. Kita belum mampu mempertahankan satu level kesadaran akan Allah selama setahun penuh. Seandainya kita mampu, Ramadhan tidak akan lagi menjadi Ramadhan. Pun, jika musim panas tidak diimbangi dengan musim dingin, ia hanya akan dianggap sebagai “suatu waktu”, bukan sebagai “musim panas”. Maka jangan pernah bertanya mengapa tidak musim panas saja selamanya. Lebih baik bertanya “apa yang harus dilakukan pada musim panas agar kita bisa menikmatinya dan tetap menyiapkan datangnya musim dingin”.


Mari kita tengok sekilas sejarah Nabi Muhammad SAW terkait bulan suci ini. Bulan ini merupakan suatu masa ketika Nabi secara rutin berdiam diri di pegunungan Makkah untuk memohon perlindungan dari kejahatan dan ketidakadilan masyarakat Arab sebelum Islam. Di Gua Hira-lah ia menerima wahyu pertama. Lama setelah itu, setelah Islam meluas, praktek i’tikaf—berdiam diri di masjid selama satu bulan penuh dan sepertiga terakhirnya—menjadi kebiasaan di antara orang-orang muslim yang ahli ibadah. Bulan ini diakhiri dengan menyucikan diri dengan zakat fitrah, semacam sedekah yang diberikan pada fakir miskin untuk mengesahkan puasa dan memastikan bahwa puasa yang telah dilaksanakan layak dirayakan.


Di sini, kita bisa merefleksikan beberapa kesulitan dan keuntungan yang ditimbulkan oleh bulan Ramadhan: masalah orang yang terpinggirkan (orang miskin dan perempuan), masalah sulitnya memberi makanan jiwa, dan terakhir, relevansi puasa dengan kehidupan kita saat ini.


Seringkali, saat kita merenungkan tentang penderitaan yang ada di sekililing kita—semua terjadi karena tangan kita sendiri—seakan heran mengapa Allah masih membiarkan dunia ini tetap hidup. Apakah ini karena ibadah dan keikhlasan sedikit orang yang dalam beberapa waktu yang lama hanya untuk shalat dan berkontemplasi.


Tetapi, dengan pikiran menghibur semacam ini masih saja ada mendung gelap. Meskipun di beberapa belahan dunia perempuan juga sering mengisi masjid, kegiatan berdiam diri di masjid selama sepuluh hari terakhir bulan ramadhan dibatasi hanya untuk laki-laki. Respon terhadap kesadaran akan keadilan gender (relasi antara laki-laki dan perempuan) dalam Islam atau dalam masyarakat Islam, memang sangat beragam. Sekali lagi di sini kita seakan menemukan persekongkolan antara ketidakadilan dengan agama terhadap perempuan.


Hari-hari terakhir Ramadhan juga diperuntukkan bagi setiap orang yang berpuasa agar ikut andil dalam sesuatu yang disebut sebagai “harga hari raya” bagi orang-orang yang tidak mampu. Hasil yang minimal diperbaiki dan disucikan sebelum seseorang bersujud di pagi hari pada hari raya yang menandai berakhirnya Ramadhan.


Dengan demikian, kita diingatkan bahwa kewajiban puasa—di samping demi kedisiplinan kita sendiri serta mendapatkan ridha Allah—juga berkenaan dengan tanggung jawab terhadap sekeliling kita. Karena Ramadhan sendiri merupakan bulan yang menunjukkan kasih sayang Allah yang tinggi. Selain itu, menunjukkan perjuangan yang lebih intensif untuk meraih kedekatan dengan Allah menahan diri dari makanan, minuman, aktivitas seksual dari fajar sampai matahari terbenam di satu sisi, dan meningkatkan aktifitas ibadah di sisi lain. Aktivitas itu akan berlangsung selama satu bulan, dan merupakan bagian intrinsik dari perjuangan ini.

Akan tetapi, Ramadhan ada yang lebih penting dari pada aktifitas formal di permukaan. “banyak orang,” kata nabi, “berpuasa tapi tidak mendapatkan apa-apa selain rasa lapar, dan shalat tetapi tidak mendapatkan apa-apa selain rasa lelah.”


Puasa merupakan satu pilar Islam, dan sebagaimana pilar semenarik apapun bentuknya dari waktu ke waktu dimaksudkan untuk menyanggah struktur: kita membangun di atasnya. Dengan demikian, selama satu bulan itu kita diajak untuk belajar tentang kedisiplinan, kesabaran, pengendalian hawa nafsu dan pengorbanan. “jika ada orang yang ingin mengajakmu berdebat maka katakanlah aku sedang puasa” kata Nabi.


Puasa, sekali lagi, disamping untuk memperoleh Ridha Allah, pengendalian diri selama sebulan ini lebih banyak berkenaan dengan orang lain dan dengan bagaimana kita berhubungan dengan mereka. Kekhusyukan membutuhkan momen-momen tertentu untuk melakukan refleksi dan ibadah dengan tenang, tapi Ramadhan bukan semata-mata untuk itu; ramadhan adalah tentang menguji keimanan seseorang di dunia nyata, di mana selalu ada peperangan antara keadilan dan ketidakadilan.


Bukan kesempurnaan, tapi peningkatan


“Harga hari raya” bagi orang-orang yang tidak mampu, merupakan bagian ramadhan yang menarik. Meskipun untuk waktu yang lama kita sempat percaya, bahwa sebab utama mengapa banyak orang meninggal akibat kekurangan makan, adalah karena ada beberapa orang yang terlalu banyak makan. Karena itu, kita juga harus merenungkan dari mana datangnya kedermawanan dan kebaikan.


Seringkali semua ini mengimplikasikan bahwa orang-orang miskin akan selalu ada. Bahwa kita membutuhkan mereka untuk menyucikan diri kita sendiri. Sehubungan dengan hal ini, ada fakta lain yang juga amat meresahkan. Banyak ulama, dan tentunya orang-orang muslim yang punya kesadaran social, sering mengatakan bahwa salah satu alasan kita berpuasa adalah untuk berbuat kebaikan kepada orang miskin dan orang yang kelaparan. Bukankah itu berarti kita beranggapan bahwa orang Muslim itu kaya atau setidaknya berkecukupan? Siapa yang membangun wacana bahwa yang kaya adalah subyek agama, yang miskin adalah obyeknya dan kita meski tanpa sadar beranggapan bahwa mereka tidak berpuasa atau tidak harus berpuasa?
Kini kembali lagi ke pertanyaan awal. Apa yang membuat bulan Ramadhan menjadi begitu penting? Mengapa tidak seperti ini saja setiap bulan?. Benar bahwa kita belum mampu mempertahankan satu level kesadaran akan Allah selama setahun penuh. Ini juga tentang betapa sulitnya mempertahankan ketinggian spiritual.


Seandainya kita mampu, Ramadhan tidak akan lagi menjadi Ramadhan. Pun, jika musim panas tidak diimbangi dengan musim dingin, ia hanya akan dianggap sebagai “suatu waktu”, bukan sebagai “musim panas”. Maka jangan pernah bertanya mengapa tidak musim panas saja selamanya. Lebih baik bertanya “apa yang harus dilakukan pada musim panas agar kita bisa menikmatinya dan tetap menyiapkan datangnya musim dingin”.


Diumpamakan perahu-perahu yang aman di pelabuhan, dan ini membuat kita ingin terus berada di sana, tetapi bukan itu alasannya mengapa perahu dibuat. Bulan puasa adalah masa di mana kita kembali ke dermaga untuk membenahi jiwa yang rusak dan mempersiapkan perjalanan berikutnya untuk menjadi lebih dekat dengan Allah dengan ke-diri-an kita yang lebih mulia, dengan alam dan dengan sesama manusia.


Tetapi baru beberapa hari setelah Ramadhan berakhir, ternyata jalan tidak semulus saat perahu-perahu berada di dermaga. Bahkan bagi sejumlah orang, berdiam diri di dermaga itu sendiri menjadi sedikit membosankan di tengah jalan. Kita tidak lagi pergi untuk shalat tarawih. Intensitas ritual kita terkesan hancur semuanya disebabkan beratnya persiapan menghadapi perayaan Idul Fitri, hari kemenangan.


Lalu apa artinya awalan yang kita buat kalau kita tidak mempertahankannya. Buat apa kita berpuasa kalau kita tidak shalat lima kali dalam sehari. Kewajiban kita adalah untuk memastikan bahwa pada pelabuhan berikutnya, kondisi kapal kita lebih baik dari sebelumnya. Artinya bahwa bulan ramadhan berikutnya kita lebih baik dari sebelumnya.


Fakta bahwa kita tidak akan atau tidak mampu mengerjakan segala hal, bukanlah satu alasan yang kuat untuk menolak melakukan suatu hal. Karena bukan kesempurnaan yang ingin kita raih, akan tetapi peningkatan.

Perempuan dan Wajah Kusam Pendidikan Kita

Oleh: Alimah (6/4/07)


“Kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di mana-mana adalah petunjuk bahwa kekerasan ada di mana-mana dan setiap orang bisa menjadi korban, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak,”


Kalimat tersebut dikatakan Dr. Yakin Ertürk saat mendapat mandat PBB untuk mengunjungi Indonesia atas undangan Komnas Perempuan tahun 2004 lampau. Ertürk menambahkan, bahwa perjuangan menolak kekerasan terhadap perempuan bukan "pertempuran" antara perempuan dan laki-laki, bahkan ia juga mengajak laki-laki dan perempuan bersama berjuang menghapus kekerasan pada perempuan. Kekhawatiran Ertürk sudah menjadi rahasia umum, bahwasannya kekerasan, apapun bentuknya, kapan dan dimanapun terjadinya, siapapun pelakunya, sudah seharusnya menjadi perhatian yang serius suatu negara.


Konflik bersenjata, kemiskinan, kelaparan, HIV/AIDS, perdagangan manusia, fundamentalisme, bencana alam, dan lain-lain, adalah gambaran muram situasi perempuan. Berbagai potret kekerasan terhadap perempuan selama ini telah memperlihatkan kepada kita bahwa kekerasan terhadap perempuan sudah begitu membudaya dalam masyarakat, dan karenanya untuk sebagian, sudah diterima sebagai sesuatu yang given atau taken for granted. Kekerasan terhadap perempuan juga bukan semata dalam bentuknya yang fisik, melainkan juga pada bentuk-bentuk kekerasan yang tidak mudah untuk diidentifikasi. Misalnya, kekerasan psikis, kekerasan spiritual dengan korban yang bukan hanya tertekan jasmaninya, tapi juga rohaninya.


Demikianlah tradisi, ia mengakar dan mengajar masyarakat tentang berbagai hal, termasuk bagaimana seharusnya menjadi perempuan atau lelaki. Mitos-mitos kecantikan dan seksualitas sebagian juga lahir lewat tradisi, dan sebagian dari kita sendiri tanpa sadar masih memelihara dan membiarkannya turun kepada generasi anak-anak kita. Hal tersebut juga diperburuk oleh globalisasi kapitalisme dan program penyesuaian struktural (SAP), sehingga keadaan perempuan saat ini tidak lebih baik dibandingkan 30 tahun lalu.


Kini, situasi hak asasi perempuan mencatat beberapa perubahan ke arah keadaan yang lebih memberi harapan walaupun persoalan kekerasan dan diskriminasi masih jauh lebih banyak lagi yang menunggu diselesaikan. Seperti realitas yang digambarkan harian KOMPAS, dua organisasi nonpemerintah, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta dan Mitra Perempuan, melaporkan catatan situasi perempuan tahun 2005 yang memperlihatkan perbaikan keadaan perempuan, dan pada saat yang sama masih memprihatinkan. Kedua organisasi tersebut mencatat naiknya jumlah perempuan yang melaporkan kekerasan yang mereka alami. Mitra Perempuan mencatat sepanjang tahun lalu jumlah perempuan yang mengadukan kasusnya ke lembaga ini di Jakarta, Tangerang, dan Bogor sebanyak 455 kasus, naik sebanyak 38,3 persen dibandingkan dengan tahun 2004. Demikian pula jumlah pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan kepada LBH APIK meningkat dari 817 kasus pada tahun 2004 menjadi 1.046 kasus tahun 20005.


Kebanyakan kasus yang masuk adalah tentang kekerasan dalam rumah tangga. Meskipun jumlah korban yang melapor meningkat, tidak semua korban bersedia menyelesaikan kasusnya. Kasus LBH APIK memperlihatkan, dari seluruh kasus yang masuk sebanyak 314 kasus adalah kekerasan dalam rumah tangga. Namun, hanya 19 kasus di antaranya yang dilaporkan ke kepolisian dan dari jumlah itu hanya delapan kasus yang diproses dengan menggunakan pasal-pasal dalam UU PKDRT. Dari kedelapan kasus tersebut, enam adalah kasus kekerasan fisik, satu kasus kekerasan ekonomi, dan satu kekerasan psikis. Hubungan pelaku dengan korban adalah suami pada istri (enam kasus), orangtua pada anak (satu kasus), dan majikan dengan pekerja rumah tangga (satu kasus).


Masih Banyak Persoalan, tetapi Ada Perbaikan Situasi


Nunuk Murniati, dalam Getar Gender (Perempuan Indonesia Dalam Perspektif Sosial, Politik, Ekonomi, Hukum, Dan HAM), mengatakan bahwa kekerasan adalah perilaku atau perbuatan yang terjadi dalam relasi antarmanusia, baik individu maupun kelompok, yang dirasa oleh salah-satu pihak sebagai satu situasi yang membebani, membuat berat, tidak menyenangkan dan tidak bebas. Situasi yang disebabkan oleh tindak kekerasan ini membuat pihak lain sakit, baik secara fisik, psikis, maupun rohani. Sehingga individu atau kelompok yang sakit ini sulit untuk bebas dan merdeka. Namun situasi sakit atau dalam belenggu itu, tidak akan dirasa oleh korban apabila situasi itu sudah merupakan satu bentuk kebiasaan. Lebih-lebih sudah dikemas menjadi ‘sebuah wacana’ atau mitos yang ‘dikunci mati’. Kekerasan juga merupakan tindakan yang terjadi dalam relasi antar manusia, sehingga untuk mengidentifikasi pelaku dan korban juga harus dilihat posisi relasi.


Kekerasan dalam rumah tangga sudah merupakan perbuatan yang perlu dikriminalisasikan, karena secara substansi telah melanggar hak-hak dasar atau fundamental yang harus dipenuhi negara seperti tercantum dalam pasal 28 amandemen UUD 1945, Undang-undang no. 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againsts Women), dan Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sejauh ini terbukti tidak mampu memberi perlindungan bagi korban KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Karena kedua aturan tersebut masih sangat umum, tidak mempertimbangkan kesulitan-kesulitan korban untuk mengakses perlindungan hukum, terutama karena jenis kelaminnya.


Dalam konteks budaya patriarkhi, para perempuan korban KDRT menghadapi berlapis-lapis hambatan untuk mengakses hukum, seperti tidak mudah melaporkan kasusnya karena berarti membuka aib keluarga. Ragu melaporkan karena bisa jadi ia yang dipersalahkan karena kurang mampu mengurus suami/keluarga, karena kata orang ‘tidak ada asap kalau tidak ada api’. Takut melaporkan karena bisa memperparah kekerasan yang dialami. Suami semakin gelap mata kalau mengetahui istrinya berani melaporkan dirinya, yang berarti mencemarkan status sosialnya sebagai kepala keluarga. Khawatir kalau melapor, ia akan dicerai dan menjadi janda. Bagaimana ia kelak dan bagaimana anak-anak? Berani melapor ke polisi tapi ternyata respon aparat tidak serius karena menganggapnya sebagai masalah privat. Berani melapor dan ada bukti kuat, tetapi ancamannya pidana penjara. Berarti suami akan dikurung. Bagaimana nafkah keluarga? Sekolah anak-anak? Siapa yang akan menjamin biayanya? Sebab, selama ini baik sistem sosial dan hukum telah membuat ia (istri) tergantung secara ekonomi terhadap sang kepala rumah tangga.


Realitas perempuan tersebut menggambarkan kesulitan yang dialami perempuan ketika menempuh jalur hukum. Selain itu, ada biaya yang harus dikeluarkan untuk mondar- mandir ke pengadilan. Di luar persoalan kekerasan di dalam rumah tangga, perempuan yang dilacurkan masih dianggap sebagai pelaku kriminal dan bukannya korban ketidakmampuan negara memberi lapangan kerja yang memadai untuk mengatasi kemiskinan. Pengkriminalan terhadap mereka dapat dilihat dari berbagai penertiban oleh aparat Tramtib yang mengejar-ngejar pekerja seks seperti mengejar pelaku kriminal. Padahal, di antara mereka ada yang merupakan korban perdagangan orang dan karena ketidakmampuan mencari lapangan kerja lain yang memberi penghasilan layak.


Persoalan lain menyangkut tenaga kerja perempuan yang mengalami pemutusan hubungan kerja setelah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak bulan November 2005. Hampir 90 persen buruh di pabrik Garmen adalah perempuan, sehingga kebijakan pemerintah tersebut juga menyengsarakan perempuan. Apabila dilihat satu per satu, masih terjadi kasus buruh perempuan yang haknya tidak dipenuhi, yaitu upah di bawah upah minimum, dilarang bergabung dengan serikat buruh, kamar mandi tidak layak, tidak dipenuhi kesehatan dan keselamatan kerja, dan tidak diakomodasinya hak atas kesehatan reproduksi. Salah satu kasus menyangkut seorang buruh yang dipotong gajinya saat hamil dengan alasan kehamilannya mengurangi produktivitasnya.


Pekerja rumah tangga adalah kelompok lain yang rentan terhadap kekerasan, baik fisik, ekonomi, psikis, maupun seksual. Banyak dari mereka tidak berani mengungkap kekerasan yang dialaminya karena mereka membutuhkan upah yang diterimanya untuk menghidupi keluarga di kampung. Dari sisi Undang-undang (UU), sampai sekarang belum juga diselesaikan penyusunan UU Anti perdagangan orang. Amandemen UU Kesehatan yang isinya antara lain; memberikan hak kepada perempuan atas kesehatan reproduksinya, dan melindungi perempuan dari aborsi tidak aman, selama ini terjadi meskipun secara hukum dilarang. Demikian juga, Undang-undang Perlindungan Saksi, UU Revisi KUHP, dan amandemen UU Kewarganegaraan yang isinya mendiskriminasi perempuan, belum juga dilakukan.


Deskripsi keadaan perangkat perundang-undangan diatas, tak lepas dari keterpurukan dimensi kenegaraan yang lainnya. Dunia pendidikan nasional, sebagai salah satu perangkat kebangkitan bangsa, secara komprehensif belum mendukung. Padahal, pendidikan merupakan proses kemanusiaan menuju terbentuknya manusia bernilai secara kemanusiaan, serta dianggap mampu memegang peranan kuat untuk menyelamatkan generasi bangsa, seakan jauh dari akar kultur pendidikan itu sendiri. Implikasinya, tingkat pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan masih tinggi. Sistem dan kurikulum pendidikan Indonesia yang meniscayakan output-nya berprofesi sebagai buruh, pelayan dan pembantu rumah tangga, ternyata menjadi satu kelemahan yang nayata. Penididikan seolah menjadi media yang mudah untuk mengeksploitasi perempuan tanpa memedulikan hak mereka sebagai manusia laiknya laki-laki. Padahal fakta menunjukkan, buruh pabrik di negeri ini hampir 90 persennya adalah perempuan.


Keterpurukan pendidikan Indonesia secara fenomenal memang tampak di depan mata. Polarisasi standar keberhasilan dan kriteria pekerjaan ideal terlatak pada tingkat lulusan pendidikan. Imbasnya, angka pengangguran memuncak, anak jalanan dan kaum miskin semakin meningkat. Tentunya, upaya pembenahannya adalah membuat infrastruktural dan suprastruktural pendidikan tertata secara terencana dan terpadu. Termasuk political will pemerintah dalam bentuk subsidi biaya pendidikan yang murah bahkan gratis. Tapai yang tampak sampai hari ini, kurikulum pendidikan kita –seperti halnya ilmu penngetahuan sejarah—, masih menempatkan perempuan pada the second position dan inferior dibanding laki-laki.


Media Massa dan Pembelaan Perempuan


Pandangan yang menganggap semua masalah kejahatan harus diatur dalam suatu kodifikasi hukum seperti KUHP atau KUHAP adalah pandangan yang sempit dan ketinggalan zaman serta tidak sesuai dengan tuntutan yang ada. Karena pada era modern dimana pembagian kerja semakin kompleks, kebutuhan akan adanya peraturan-peraturan khusus yang bisa menjangkau permasalahan di lapangan semakin mendesak untuk segera diakomodir. Masalah kekerasan dalam rumah tangga perlu diatur secara khusus dalam sebuah UU, mengingat konteks permasalahannya yang juga spesifik.


Sistem hukum di Indonesia masih belum sensitif dalam memandang persoalan perempuan. Sebaliknya, dalam banyak hal sistem malah memfasilitasi embrio-embrio kekerasan terhadap perempuan, seperti misalnya yang terjadi pada undang-undang perkawinan. Atas dasar itu, perempuan korban kekerasan selalu dihadapkan pada posisi yang sulit atau bahkan justru sebagai pihak yang disalahkan. Sebagai contoh, misalnya, pada kasus perkosaan, perempuan yang menjadi korban pemerkosaan akan selalu menghadapi kondisi dilematis.


Bersamaan dengan penyadaran akan hak-hak perempuan, diharapkan muncul inisiatif untuk memperjuangkan terpenuhinya hak-hak tersebut. Termasuk melakukan penggugatan atas larangan memperoleh akses-akses ekonomi dan pengembangan potensi diri yang terjadi di lingkup rumah tangga atau domestik. Tetapi tentu saja upaya ini tidak bisa berjalan sendiri secara sempurna tanpa upaya pendukung lain. Maka peran media massa menjadi penting di sini.


Media massa secara terus-menerus membangun wacana mengenai penguatan hak-hak perempuan dengan melakukan blow up terhadap isu kekerasan berbasis gender. Blow up di tingkat media ini akan menjadi jembatan yang efektif untuk memunculkan dan membangun solidaritas di kalangan perempuan itu sendiri. Sebab, pada kenyataannya, media massa sering dituding sebagai perangkat yang mengeksploitir perempuan secara fisik maupun psikis. Di mata media massa, se-idealis apapun, dunia perempuan masih menjadi andalan pasar, misalnya untuk menaikkan oplah dan tetap survive.


Bersamaan dengan itu, upaya menumbuhkan kesadaran Hak Asasi Perempuan (HAP) di tingkat akar rumput harus tetap dilakukan seiring penguatan-penguatan kelembagaan kaum perempuan. Ini berarti mengajak kaum perempuan untuk meningkatkan posisi tawar dengan cara membentuk dan memperluas jaringan atau organisasi perempuan. Bagaimanapun juga, organisasi adalah cara yang efektif dalam memperjuangkan kepentingan. Dalam konteks ini, makna solidaritas yang terbentuk lewat blow up media massa harus dapat menghilangkan sekat-sekat yang menghalangi penguatan kelembagaan organisasi perempuan. Bukan rahasia lagi apabila diantara kaum pergerakan perempuan, di antara LSM-LSM yang mengaku mengadvokasi persoalan perempuan justru terjebak dalam dunianya sendiri-sendiri, saling mengklaim bahwa mereka yang paling benar. Apabila kondisi ini dibiarkan, bukan tidak mungkin solidaritas yang sedang digalang berubah menjadi solidaritas semu (pseudo solidarity) yang tidak terbangun di atas pemahaman yang sama menyangkut visi politik keperempuanan.


Totalitas organisasi sosial, ekonomi, dan politik, untuk memahami subordinasi perempuan dalam masyarakat juga perlu ditingkatkan. Dalam subordinasi ini, tidak bisa melihat perempuan saja, tetapi juga memperhatikan perempuan dalam kostruksi sosial yang memberi peran tertentu kepada laki-laki dan perempuan. Laki-laki yang menaruh perhatian dan memiliki keprihatinan pada keadilan dan nasib perempuan, dapat turut serta dalam memperjuangkan kepentingan perempuan.


Sejarah mencatat bahwa masyarakat manapun sangat mendambakan kehidupan yang adil dan damai. Namun kenyataannya, peperangan dan penindasan serta ketidakadilan makin merajalela. Penjajahan dan penindasan dikemas dengan rapi dalam bentuk ideologi di bawah sadar, sehingga menjadi semu seolah-olah bukan lagi penjajahan dan penindasan.


Alhasil, segala upaya untuk perbaikan problem keperempuanan di Indonesia, tanpa melihat konstelasi global antara dunia pendidikan, perangkat hukum dan peran media massa, akan mengalami jalan buntu. Artinya, penyetaraan posisi perempuan dan laki-laki pada tataran pendidikan, hukum, dan hak-haknya, harus sama tanpa diskriminatif.

Derita TKI Bukan Karena Kebodohan TKI, tapi Karena Buruknya Regulasi

Oleh: Alimah


Korban kekerasan hingga kematian yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia (TKI) seakan tak pernah surut. TKI tidak hanya mengalami kekerasan fisik, pelecehan seksual, penipuan, tapi juga pembunuhan. Seperti beberapa pekan lalu, publik dikejutkan dengan berita yang dilansir detikcom, Senin (8/9/2008), tentang peristiwa penggebukan terhadap 9 TKI di Queen Elizabeth Stadium. Belum lagi kasus penipuan dan hipnotis terhadap tenaga kerja wanita (TKW) yang baru datang dari negeri tempatnya bekerja.


Menjelang hari raya, TKI seakan menjadi sasaran empuk para pelaku kejahatan. Seperti kejahatan dengan cara menghipnotis korbannya, kini kembali merajalela. Penjahat yang biasanya bekerja secara berkelompok, menjadikan kaum perempuan sebagai sasaran utama. Harta yang menjadi sasaran terutama uang tunai di tangan korban dan yang tersimpan dalam tabungan, telepon seluler, dan bahkan sepeda motor. Seperti yang diberitakan harian Pos Kota pada Jumat (12/9/08) lalu, tiga dari empat TKI yang menjadi korban pembiusan. Kasus lain, terjadi pada belasan TKW yang menjadi korban hipnotis, seperti yang diberitakan harian Mitra Dialog Cirebon, Edisi Senin 22 September 2008. Belasan TKW tersebut asal Kab Indramayu, mereka dihipnotis seorang wanita misterius saat masih dalam penerbangan dari Arab Saudi menuju Bandar Udara (Bandara) Soekarno-Hatta, Jakarta.


Realitas tersebut seakan menggambarkan betapa berat taruhan yang harus diambil para Tenaga Kerja Indonesia (TKI), khususnya TKW yang mengais pekerjaan di luar negeri sebagai pembantu rumah tangga. Mulai dari penelantaran, penipuan, penyekapan, pelecehan seksual, pemerkosaan, dan bahkan kematian. Bahkan ketika telah tiba di negeri sendiri pun, kejahatan terus menghadang para TKI. Seperti ketika pulang melewati Terminal III Bandara Soekarno-Hatta, mereka masih mendapat masalah terkait keamanan mereka.


Terminal III Bandara Soekarno Hatta merupakan bandara khusus bagi buruh migrant Indonesia (BMI) yang tiba dari luar Negeri. Di Terminal III ini pula, dapat dilihat bagaimana kondisi BMI yang baru tiba dari Luar Negeri. Pada umumnya keseluruhan BMI dari berbagai Negara akan memasuki Bandara ini.


Sekadar mengingatkan kembali, berdasarkan UU No.30/2002 tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), KPK pernah melakukan kajian terhadap sistem pelayanan penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI), khususnya untuk masa dan purna penempatan. Langkah tersebut dilakukan KPK untuk mengungkap praktik suap, pungutan, percaloan dan penyimpangan lainnya (baca: Madina, edisi 3-9 September 2007).


KPK menyebutkan, ditemukan 11 praktik penyimpangan dalam proses penempatan hingga pelayanan pemulangan TKI di Terminal III Bandara Soekarno Hatta. Hal tersebut dipaparkan di depan Menakertrans Erman Soeparno, Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI), dan sejumlah pejabat terkait lainnya. Praktik penyimpangan itu disajikan KPK dalam bentuk tayangan video dan penjelasan yang memperlihatkan praktik penyuapan dan pungutan liar, percaloan serta penyimpangan lainnya.


Temuan itu, pertama, maraknya praktik suap dalam pengurusan dokumen calon TKI. Kedua, belum adanya standar pelayanan baku yang mengatur prosedur, persyaratan biaya dan waktu penyelesaian pelayanan. Ketiga, pelayanan pengurusan dokumen calon TKI kurang profesional, meliputi tidak digunakannya sistem antrean, BP2TKI dan Disnaker tidak punya loket pelayanan, terjadi kontak langsung antara pengguna jasa dan petugas, tidak ada tanda terima berkas, serta informasi dan sarana pelayanan yang kurang memadai.


Keempat, pelayanan penempatan dan perlindungan TKI belum didukung dengan sistem manajeman informasi yang memadai. Kelima, maraknya praktik percaloan dalam proses perekrutan calon TKI. Keenam, belum ada standarisasi pelatihan prapenempatan calon TKI. Ketujuh, belum ada standarisasi biaya penempatan TKI. Kedelapan, pengawasan terhadap lembaga penempatan kurang memadai. Kesembilan, belum ada pemeriksaan substansi perjanjian penempatan dan perjanjian kerja. Kesepuluh, Terminal III Bandara Soekarno Hatta belum dapat merealisasikan konsep awal tentang diperlukannya perlindungan TKI yang pulang, kegiatan pemanduan yang belum efektif, tidak ada petugas yang berjaga di konter pusat informasi. TKI sering dipaksa menukarkan valas (valuta asing)-nya dengan kurs yang lebih rendah dari market rate, tarif angkutan darat yang jauh lebih mahal dari pada tarif umum dan tidak ada kejelasan mengenai waktu tunggu dalam proses pemulangan TKI.


Kesebelas, kurang memadainya kuantitas dan kualitas SDM diinstansi yang bertanggungjawab dalam proses penempatan dan perlindungan TKI. Berkaitan dengan itu, KPK merekomendasikan sejumlah perbaikan, yakni peningkatan komitmen pimpinan pada lembaga yang mengurus penempatan dan perlindungan TKI, diadakannya reformasi birokrasi yang meliputi manajemen SDM, proses penangan, infrastruktur dan anggaran, serta peningkatan pengawasan dan penindakan.


Cermin buruknya regulasi Indonesia


Kini, sekalipun banyak terpasang spanduk buruh migrant Indonesia (BMI) dilarang memberikan uang kepada petugas, tetapi realitasnya, pungutan/pemerasan terhadap BMI terus saja terjadi. Hal lain yang juga tetap tidak berubah dalam sistem pelayanan di Terminal III, adalah birokrasi yang sangat panjang, sebab ada BMI yang telah tiba jam 10.00 Pagi, baru bisa keluar dari pintu pemeriksaan untuk naik kemobil yang disediahkan pada pukul 21.00. Kondisi ini dialami oleh seluruh BMI yang melalui pintu terminal III. Kondisi ini tentu sangat melelahkan setelah menempuh perjalanan jauh, kemudiaan tertahan lagi rata-rata 10 Jam di Terminal 3 untuk pengurusan dokumen.


Realitas itu seperti yang digambarkan dalam harian Radar Banten, edisi 29 maret 2008, terkait pelayanan TKI Bandara Soekarno Hatta. Dalam berita tersebut dikatakan, pelayanan TKI Bandara Soekarno Hatta adalah yang paling rendah. Hal itu berdasarkan data hasil survey integritas sektor publik 2007 untuk pertama kalinya, yang dilakukan oleh KPK. Belum lagi perilaku kasar petugas kepada para TKI di Bandara Soekarno Hatta, seperti yang diberitakan O news dalam www.GrameenFoundation.org, pada 4 September 2008 lalu. Dimana pelayanan petugas yang katanya disediakan untuk memberikan kemudahan, keamanan, dan pelayanan kepada TKI untuk bisa sampai dengan selamat dan aman sampai tempat tujuan. Kenyataan yang terjadi di lapangan, para petugas tersebut terkesan memaksa dan tidak ramah, tidak ada senyuman atau ucapan selamat datang.


Lalu, apakah setelah keluar Peraturan Pelarangan Penjemputan di Terminal III, maka pemerasan terhadap BMI tidak ada lagi ? belum lagi peraturan kepala badan nasional penempatan dan perlindungan tenaga kerja indonesia, nomor: per. 01/ka/su/i/2008, tentang pelayanan kepulangan tenaga kerja indonesia dari luar negeri di lingkungan Bandar Udara Soekarno Hatta (baca: Peraturan Ka BNP2TKI nomor 01 TAHUN 2008 di www.scribd.com). Ternyata tidak, karena masih saja ditemukan calo-calo yang bebas keluar masuk ke areal Terminal III, sekalipun caranya sudah tidak seperti sebelum keluarnya aturan Pelarangan Penjemputan, dimana calo-calo tersebut mengawasi setiap BMI yang akan pulang ke daerah masing-masing.


Pola pemerasan yang dilakukan oleh aparat masih sama dengan sebelumnya, hanya saat ini, pemerasaannya dilakukan ditengah jalan, misalnya; pada saat Bus Angkutan yang disediahkan Depnakertrans melalui jalan tol untuk menuju daerah asal BMI, di perjalanan (jalan Tol) Bus angkutan diberhentikan oleh sekelompok anak muda untuk meminta uang kepada BMI yang berada dalam Bus Angkutan BMI, setiap BMI dipungut sebesar Rp. 50.000. Sementara di dalam Bus Angkutan yang mengantar BMI tersebut, terdapat aparat yang mengawal perjalanan.


Dari kasus pemerasan ini, muncul asumsi bahwa praktek pemerasan ini, sudah disusun rapi dengan melibatkan aparat, Sopir Bus, dan beberapa kelompok lainnya (seperti anak-anak muda yang juga ikut melakukan pemerasan), menjadi eksekutor di lapangan yang bertugas untuk menghentikan Kendaraan dan menarik pungutan.


Fakta derita yang dialami TKI, tentunya tak terlepas dari cermin buruknya regulasi (aturan) yang dibuat pemerintah, perusahaan jasa pengerah tenaga kerja, serta perwakilan negara tujuan. Tidak adanya koordinasi yang baik membuat nasib TKI ibarat 'manusia gelap' yang tak patut mendapat perlakuan layak. Tak jarang menjadi objek pemerasan oknum pemerintah di semua titik pemberangkatan maupun pemulangan.


Selain itu meningkatnya indeks kekerasan dan kematian TKI mengindikasikan buruknya aturan Pemerintah RI mengenai hak memperoleh kenyamanan, keamanan, dan ketenangan dalam bekerja. Bagaimana pun, pemerintah berkewajiban penuh membela dan melindungi warganya di luar negeri. Ini merupakan konsensus dunia yang tertuang dalam resolusi PBB dan menjadi pijakan International Labour Organization (ILO) dalam memberikan perlindungan buruh (termasuk TKI).

Mestinya, semua pihak duduk satu meja mencari solusi terbaik. Apalagi jumlah TKI korban yang bermasalah semakin meningkat, belum lagi prediksi TKI di masa mendatang. Kenyataan ini didasarkan pada situasi ekonomi makro nasional. Di mana rasio lapangan kerja tak sebanding dengan rasio pertumbuhan tenaga kerja yang terus bertambah, terutama di kota-kota besar. Sehingga menjadi TKI merupakan pilihan untuk memperbaiki nasib. TKI merupakan 'komoditi' yang bernilai tinggi, selayaknya dikelola secara profesional. Jika perlu dibuat peraturan perundangan yang pengatur khusus TKI. Harus ada tindakan preventif, komprehensif, dan tepat sasaran agar TKI menjadi pilihan nyaman serta aman.

Kamis, 25 September 2008

Penindasan atas Nama Kecantikan

by: Alimah


Sejarah mencatat bahwa masyarakat manapun sangat mendambakan kehidupan yang adil dan damai. Namun kenyataannya, peperangan dan penindasan serta ketidakadilan makin merajalela. Penjajahan dan penindasan dikemas dengan rapi dalam bentuk ideologi di bawah sadar, sehingga menjadi semu seolah-olah bukan lagi penjajahan dan penindasan. Dalam wacana kesetaraan dan keperempuanan, akibat ideologi gender yang dominan, membuat relasi laki-laki dan perempuan sulit untuk keluar dari stigma masyarakat. Banyak stereotip manusia yang seolah tak bisa diganggu gugat. Apa yang nature dan apa yang nurture, sehingga dikacaubalaukan oleh berbagai kepentingan atas ideologi gender, dibungkus dengan mitos-mitos, tradisi, budaya dan bahkan pandangan agama.


Pandangan itu kemudian lebih dikukuhkan lagi melalui agama dan tradisi. Dengan demikian, laki-laki “diakui dan dikukuhkan” untuk menguasai perempuan, kemudian hubungan laki-laki dan perempuan yang hierarkis, (dianggap) sudah benar. Situasi ini adalah hasil belajar manusia dari budaya patriarkhi. Dalam budaya ini, berbagai ketidakadilan muncul di berbagai bidang dan bentuk.


Di akui atau tidak, dunia yang kita huni sekarang ini adalah dunia yang terus mewariskan tradisi masyarakat patriarkat selama berabad-abad. Selama itu pula kekuasan pribadi kaum perempuan telah dikerdilkan dan peran mereka selalu dipinggirkan. Namun demikian tidak tepat kalau hanya menyalahkan pria atas semua kasus penindasan itu. Karena sesungguhnya kaum pria juga tertindas. Semua orang mengalami penindasan yang serupa (kendati tidak sama) oleh pola budaya patriarkat ini. Penindasan mental dan spiritual.


Pola budaya patriarkat dikatakan menindas semuanya karena pola budaya ini selalu menghidupkan mitos kalau kaum pria adalah perwujudan energi maskulin (maskulin, asertif dan terarah keluar) sedangkan kaum wanita wujud energi feminin (sensitif, pemelihara dan reseptif). Tentu lain dalam prakteknya dengan dominasi energi maskulin. Dominasi itu tidak mendapat imbangan yang cukup hingga kaum pria-lah yang menentukan semua tatanan, baik nilai, etika, moral, sosial dan (mungkin juga) agama. Semua dibuat standar dengan dorongan alamiah kaum laki-laki. Akibatnya kaum wanita semakin terpinggirkan dan hanya menjadi semacam "perkakas budaya" yang harus tunduk dan menyesuaikan diri dengan paradigma budaya yang ada. Cantik dan tidak cantik juga ditentukan oleh standar kaum laki-laki.


Mitos kecantikan merupakan satu dari mitos terhadap stereotip perempuan. Dalam mitos ini perempuan harus punya keinginan untuk mewujudkannya, dan laki-laki harus mendapatkan wujud dari keinginan itu untuk memiliki perempuan yang serba cantik dan sempurna. Perwujudan itu merupakan sebuah imperatif bagi perempuan, dan bukan untuk laki-laki. Situasinya sedemikian rupa menjadi keharusan dari alamiah, karena situasi ini merupakan hal yang biologis, seksual, dan evolusioner.


Sekarang, “kecantikan “ seolah-olah menjadi sistem ekonomi di mana perempuan menemukan “nilai” dari wajah dan tubuh mereka telah berada dalam ruang orang lain, tidak dalam diri mereka, melainkan dalam diri perempuan lain. Sejumlah rasa sakit yang dialami perempuan melalui mitos kecantikan menunjukkan tidak adanya hubungan sama sekali antara bagaimana penampilan seorang perempuan dengan sosok yang ideal secara kultural.


Realitas ini juga secara gamblang tergambar dalam penelitian Naomi Wolf yang dituangkan dalam bukunya “Mitos Kecantikan(Kala kecantikan menindas Perempuan)” . Menurut Wolf, budaya ini (baca: mitos kecantikan) sebagai penghancuran dalam bentuk mutakhir atas reaksi mengenai kecantikan secara fisik yang juga telah merusak perempuan dan memangsa mereka secara psikologis. Penelitian-penelitian terbaru juga secara konsisten menunjukkan bahwa meskipun mayoritas perempuan hidup secara terkendali dan tampil menarik, kita bisa melihat adanya “alam bawah sadar” rahasia yang nyaris meracuni semua pembicaraan tentang kecantikan. Alam ini dipenuhi gambaran yang muram tentang kebencian terhadap diri sendiri, obsesi fisik, teror atas usia yang terus bertambah tua, dan ketakutan atas hilangnya kontrol diri.


Praktik kecantikan semakin ditekan, sehingga hubungan antara lelaki dan perempuan yang seperti itu akan terus merasa diktatorial, meskipun muncul gerakan sosial untuk mencapai kesamaan (derajat). Menempatkan kesenangan perempuan—seks, makanan, atau harga diri—kedalam penilaian personal membuat lelaki berubah menjadi pembuat aturan (legislator) tentang kesenangan perempuan, lebih dari pada keterlibatan perempuan itu sendiri di dalamnya.

Yang lebih penting menjadi perhatian di sini adalah segala aturan dan larangan yang mengikuti mitos itu secara langsung ataupun tidak langsung punya tujuan menyenangkan kaum lelaki. Dalam hal ini benar sekali apa yang di katakan Naomi Wolf dalam bukunya, “The Beauty Myth”, kecantikan adalah tempat yang tepat untuk memelihara dominasi pandangan patriarkis.


Yang tak kalah penting untuk di soroti dan ini menjadi titik nadir permasalahan kecantikan adalah permasalahan produk kecantikan dan kesehatan (kosmetik dan suplemen), seolah terbebani tanggung jawab untuk menyebarkan mitos dan citra kecantikan ke masyarakat melalui iklan—dengan bintang iklan wanita cantik tentunya—produk dengan segmen konsumen perempuan dan khalayak umum, realitas itu dapat kita lihat pada iklan televisi seperti produk shampo, sabun, pelembut pakaian, pemutih wajah dan berbagai produk lainnya. Belum lagi iklan di media cetak, khususnya majalah untuk remaja. Halaman demi halaman sesak diisi produk kecantikan remaja.


Bukti saktinya peradaban ini juga dapat disaksikan dalam parade iklan yang ada. Tidak saja pada produk kecantikan, tatapi juga semua jenis produk, tidak peduli minyak rem, mi instan, pompa air sampai pada minuman suplemen khusus pria, hampir semuanya memakai sosok wanita cantik sebagai figur sentral iklan. Dalam teritorial ini seakan tidak diperlukan lagi alur logika akal waras. Seolah, kalau ada gambar wanita cantik produk itu pasti menarik. Tidak perlu lagi mencari keterkaitan minyak rem dengan rok yang tersingkap, maupun rasa nikmat mi instan dengan goyang liar perempuan sintal setengah telanjang. Akhir dari semua logika yang dibangun pasti akan bermuara pada nalar kemesuman.


Sungguh tak ada yang salah dengan perawatan tubuh untuk merawat kecantikan. Yang perlu direnungkan adalah bagaimana kita menyikapi tren dan rayuan mautnya itu, lalu secara tegas berkata tidak untuk berbagai treatment yang memang tidak perlu dijalani. Hal ini penting karena perempuan sebagai kaum yang diincar oleh para pemilik kapital memang mudah dibuat tidak percaya diri dan tidak nyaman dengan kondisi fisiknya.


Menurut Lynda Field, peradaban ini harus segera diruwat (dibenahi) agar semua kutukan penderitaan ini bisa dihilangkan. Pembenahan ini bisa dilakukan dengan mengembalikan energi feminin sesuai dengan poros hukum keseimbangan alam, karena energi feminin selama ini terpinggirkan maka harus dibawa kembali ke tengan dengan jalan memperkuat citra diri kaum perempuan yang sejak lama dikerdilkan itu.


Seperti yang pernah dikatakan oleh Antropolog feminis terkenal pengikut jejak Derrida, Gasle Rubin, bahwa there is nothing out of the text: tidak ada sesuatu di luar teks. Menurut Gasle Rubin, maksud Derrida adalah bahwa tidak ada kenyataan yang berada di luar bahasa. Tidak ada kodrat atau konstruksi biologis yang mendahului tanda bahasa. Misalnya kategori laki-laki perempuan dengan semua atribut dan peran yang melekat padanya bukanlah konstruksi alamiah, melainkan produk sejarah dan representasi. Menurut konsep ini, perempuan menjadi mahluk halus (feminim) bukan karena identitas biologis yang melekat padanya, akan tetapi akibat pencitraan negatif terhadapnya baik oleh diskursus sains maupun agama yang kemudian menjadi budaya.


Maka dengan memperkuat citra diri seorang perempuan, tidak akan lagi merasa terganggu karena "kewanitaannya" dalam segala lapangan kerja dan kesempatan kehidupannya. Penguatan citra diri wanita yang ditawarkan Lynda Field ini pada prinsipnya memaksimalkan potensi dasar yang dimiliki wanita sekaligus mengasah potensi kemanusiaan yang telah dimitoskan oleh budaya patirarkat sebagai milik kaum pria. Dengan kata lain, disamping mempertajam kepekaan batiniah seorang wanita juga harus mengasah daya nalar intelektualnya. Dan ini sangat mungkin dilakukan, karena hampir semua kemampuan "maskulin" itu relatif telah bisa dipelajari.