Minggu, 12 Oktober 2008

tentang jiwa yang lain (1)

Hujan, Pulanglah

Oleh : Yetti AKA (January,2,2008)

Runi tidak tidur. Angin Oktober menghempas dinding bercat putih. Senja tadi sedikit gerimis, bisa jadi akan hujan. Runi mulai rindu nyanyi katak dalam rawa. Selain Runi, tidak seorang pun suka suara katak, terlebih Yayu, anaknya. Yayu bilang suara katak mengerikan bila terdengar tengah malam sehabis hujan. Karenanya ia senang sekali mengetahui rawa-rawa itu akan ditimbun dalam waktu dekat, dan rumah-rumah sederhana segera berdiri di atasnya berikut fasilitas umum. Kasihan katak-katak di sana, pasti mereka mati semua, Yu, kata Runi agak melankolis. "Ibu semakin mirip Ayah, semua dibawa ke dalam hati." Yayu cepat-cepat pergi. Sedangkan Runi terlongo sendiri mendapati perasaan Yayu semakin kaku.

Hujan, pulanglah.

Kau nakal, bisik Runi sendu, ia membuka lagi pesan singkat suaminya, seseorang yang sedang tertawan sepi. Sudah sekian hari mereka berpisah. Ini untuk pertama kali. Mereka seharusnya tetap bersama, jika saja Yayu tidak memintanya ke Bengkulu. Pulang kampung sekali-sekali, Bu. Kami semua kangen, terlebih cucu-cucu Ibu. Bukankah Ibu sudah lama sekali tidak menginjakkan kaki di tanah yang terus menahan rindu, begitu ujar Yayu.

Seharian Runi memikirkan ucapan Yayu. Anak perempuannya itu masih ingat cara mencubit perasaannya, membuat ia tergugah. Bengkulu selalu saja menahan rindu. Kadang memang tak perlu berucap sedikit pun. Ia ada: seperti getar. Begitu kira-kira isi surat seorang sahabat padanya (seseorang yang pergi pada pagi muda). Runi menutup kedua mata. Banyak kenangan kembali mekar dalam ingatan. Kota kecil berudara sejuk, tanah kosong bersemak, jalan-jalan belum dipadati kendaraan umum, pasir putih berkilau, rumput-rumput hijau di samping rumah, Fort Marlborough, perayaan Tabut, rumah pengasingan Soekarno, dan Raffles Park.

Raffles Park. Jangan bayangkan jika tempat itu sebuah taman penuh bunga dan burung- burung kecil hinggap di tanah mematuk serangga, cacing, remah roti, sementara orang-orang menikmati Minggu pagi bersama keluarga atau kekasih di atas bangku-bangku kayu dalam kehangatan cuaca bulan Juli. Di sanalah Runi bertemu penyair itu. Sore hari warna jingga. Di taman yang tidak lain sebuah monumen kematian seorang residen Inggris dalam peristiwa mount felix, Thomas Parr. Perkenalan yang terasa aneh, mendebarkan. Mereka berbincang singkat.

"Bisakah pertemuan ini diteruskan. Kita saling meninggalkan nomor handphone dan alamat rumah sebelum pamit," begitu kata lelaki itu.

"Maksudmu?" Runi tidak cukup mengerti.

"Pertemuan ini, bagiku, tidak cukup sekali. Jika tidak ada pertemuan kedua di sini, bolehkah aku memintanya di tempat lain."

Wajah Runi memerah dan ia tetap tidak percaya lelaki. Ia pergi. Buru-buru menjauh. Lelaki itu tidak mampu mengejarnya.

Maka lelaki itu melepaskannya. Kali itu.

Besoknya Runi kembali ke taman. Berkali-kali. Selalu lengang dan dingin, selayak kuburan. Hanya ada orang-orang lewat atau kesibukan pasar Brokoto, tidak jauh dari Raffles Park. Ia menunggu, sebagai seseorang yang terjerat. Ini sulit dibayangkan, sebab ia sering meyakini hanya akan menyerahkan hati pada pemilik sebentuk bibir cokelat muda yang tidak sengaja tertangkap mata tengah menghirup kopi di sudut kafe sambil membaca sebuah buku. Lelaki yang sungguh seksi, bukan? Tapi kemudian, entah kenapa, hatinya terasa hanyut ke arah seorang pengembara kumal yang tertangkap mata tengah memandangi bangunan beratap bulat telur yang disebut Raffles Park itu. Sekilas, ia lelaki yang terlalu biasa. Rambut tipis sebahu. bibir kelewat cokelat. Mata terlihat merah dan berat.

"Bisakah pertemuan ini diteruskan." Runi mendengar suara itu lagi. Berulang kali, seperti kerumunan lebah sedang memburu si penganggu.

Runi berkata, “Bawalah aku.”

"Bila kau mau jadi hujan, aku akan membawamu hingga kau tidak bisa kembali."

Hujan. Runi menggigit ujung kuku yang mulai panjang. Lelaki itu sering memanggilnya hujan. Runi suka sekali panggilan itu. Romantis manis. Runi rindu. Juga bau rokok yang pekat itu, yang kadang membuat Runi harus mencak-mencak karena ia tahu betul lelaki itu tidak bisa merokok lebih dari dua batang dalam sehari karena sesak dada.

"Kau pergi saja sendiri, Run. Aku tidak bisa meninggalkan rumah. Siapa yang akan menjaga bunga-bunga, menyiram tanah yang mengering dalam pot. Pergilah akhir bulan ini. Beberapa hari saja kau di sana," begitu cara lelaki itu menolak pergi bersama Runi. Perjalanan bukan lagi milik lelaki itu. Ia lebih menikmati tinggal di rumah, merawat bunga-bunga. Lelaki yang jatuh cinta pada bunga, Runi sering berkelakar. Ya. Di mana-mana banyak lelaki mulai mengerti bunga, mencari dan memeliharanya. Bahkan obrolan para lelaki, lebih sering tentang nama-nama bunga baru, harganya berapa, dan di mana bisa mendapatkannya.

"Yayu minta awal bulan ini. Menurut Yayu, cucu-cucu kita sangat berharap sebulan penuh aku bersama mereka, jalan-jalan sore menyusuri Pantai Panjang dan Tapak Padri. Kau tahu kan mereka suka sekali lihat laut."

"Tapi kau juga tahu aku tidak terlalu suka sendirian, Run. Aku tidak biasa tanpa kawan bicara. Kau masih ingat, bukan? Seseorang yang mulai tua acap kali merasa ketakutan tak bersebab."

"Aku tidak mau cucu kita sedih. Sekali saja, masa tidak bisa memenuhi keinginan mereka." Runi menatap suaminya, minta sedikit pengertian, dan sekilas ia melihat persetujuan itu menyala kecil di mata lelaki yang suka memberinya kata-kata, sejak dulu, ketika mereka berpacaran.

"Terima kasih, kau masih saja mau mengalah," ujar Runi haru. Mereka bertatapan lama, seperti jatuh cinta pertama kali di Raffles Park.

Siang itu Runi berangkat dari Padang. Suaminya mengantar ke loket. Mereka berpisah saat bus membawa Runi, dan lelaki itu membalikkan punggung menuju arah pulang ke rumah bunga yang memancarkan kehangatan kombinasi warna-warna. Di sanalah perasaan lelaki itu bersinggah, tempat kawan bercakap selain Runi, menceritakan segala hal; kedengkian, rasa cemburu, kemiskinan, kebodohan, korupsi, kesedihan, juga kebahagiaan.

Untuk itu sudah beberapa hari ini Runi gelisah. Lebih-lebih seusai gempa mengguncang Sumatra. Sore itu, bukankah ia hampir menangis membayangkan penyair tua membuat puisi dari retak tulang. Betapa sesungguhnya lelaki itu tetap saja tidak bisa sendirian, tanpa kehadiran dirinya.

"Semua baik saja, Run?" begitu suaminya menelepon beberapa jam setelah itu.

Runi gemetar dan hanya berkata, "Aku ingin bersamamu." Lalu Runi menangis sampai telepon terputus.

Besoknya Runi bilang pada Yayu ingin kembali ke Padang. Ia tidak bisa membiarkan kecemasan menumpuk dalam dirinya, membuat ia menjadi seseorang yang tidak lagi berbahagia.

"Jangan sekarang, Bu. Jangan sakiti anak-anak. Mereka sudah membangun mimpi itu sejak lama, jauh sebelum Ibu memutuskan datang ke sini." Wajah Yayu agak tegang.

Runi bingung. Cucu-cucunya tidak boleh merasa kecewa. Ia mau menjaga perasaan mereka. Kasihan jika mereka harus kehilangan wajah lucu. Runi menyerah, menyandarkan punggung ke dinding dan minta ditinggalkan sendirian. Beberapa jam Runi membiarkan sudut matanya basah.

Tersenyumlah selalu, Runi. Aku suka wajahmu yang berkeringat itu dihias senyuman.

Runi belum lupa cara penyair membujuknya. Lalu Runi mulai tersenyum, lebih manis dari biasa.

Malam ini Runi juga tersenyum saat membaca lagi pesan singkat suaminya: Hujan, pulanglah.

Runi bisa mengerti betapa kosong ruang dada lelaki itu, tempat biasanya ia berlindung.

Lalu hujan turun. Seharusnya Runi senang, katak-katak di rawa akan segera bernyanyi seusai hujan, menghibur hatinya yang nelangsa, tapi tiba-tiba di mata Runi berkelebat orang-orang dalam tenda warna-warni, anak-anak kecil kekurangan susu menangis semalaman, dan orang-orang setua dirinya menahan reumatik di tengah serbuan hawa dingin. Penyair, beri tahu aku, puisi macam apa ini, teriak Runi dalam gemuruh hujan yang makin lebat.

***

Hujan di sini, Run, tidak henti -henti. Bagaimana di sana. Ah, kau bilang cuma sekali saja hujan, hanya malam itu, saat kau tidak bisa tidur. Apa kau dengar nyanyian katak, Run. Tidak, aku tidak dengar suara katak, katamu ketika itu. Kau malah menangis, mirip anak kecil. Berhenti menangis, Run, Tersenyumlah selalu. Aku suka wajahmu yang berkeringat itu dihias senyuman.

"Kau nakal." Beberapa kali Runi berkata demikian bila ia menelepon. Suara Runi tetap saja manja.

Lelaki itu kembali menyalakan api rokok, untuk yang ke lima. Bila ada Runi, pasti saja Runi akan bilang: Coba saja, Penyair, jika kau habis lima batang, maka aku dapat melakukannya hingga sepuluh.

Ia tidak pernah bisa membuat Runi marah. Lelaki itu pasti berhenti, dan menunjukkan bahwa ia seseorang yang pantas dicintai. Tapi kini perempuan itu jauh darinya. Alangkah pahit pagi tanpa Runi. Tanpa seseorang yang menyuguhkan dua gelas kopi dan surat kabar di meja bambu.

"Bawalah aku."

Kata Runi pasti. Maka, bukankah ia telah membawa Runi meninggalkan berkotak-kotak kenangan di kota itu, bertahun-tahun lalu. Mereka pergi sebagai sepasang manusia tanpa ikatan pada sebuah tempat. Bagiku, Runi, setiap tanah adalah rumah, tempat aku memahat kata-kata. Tidak ada kampung halaman dan kata pulang. Maka jika kau mau jadi hujan, aku akan membawamu dan mungkin kau tidak bisa kembali.

Runi mau jadi hujan. Bersedia menjadi seseorang yang direbut dari masa lalu. Tidak apa, ujar Runi penuh keyakinan, aku dan kau akan pergi ke setiap jengkal jalan, ke kota-kota lengang, atau tempat-tempat yang bahkan kita belum tahu sama sekali apa namanya.

Itu janji Runi pada penyair, pada seseorang yang menyerahkan hidupnya pada kata sepi.

Bertahun-tahun mereka pun sudah terbiasa bersama.

Sungguh pahit bila kini Runi tidak menemaninya. Ia padam. Seseorang yang bahkan tidak bisa lagi berdiri hanya untuk sekadar membuat segelas kopi, mengambil surat kabar di bawah pintu, membuka jendela, menyapa dedaun pagi hari dan matahari.

"Hujan, pulanglah." Lelaki itu menghitung gelas-gelas dengan sisa kopi sudah mengendap dan basi. Ia menyeringai. Runi belum akan pulang padanya. Masih beberapa lama lagi.

Ia tidak mungkin menunggu selama itu. Ia merasa ada yang akan datang menagih janji, menjadikannya sebuah puisi yang abadi.

hujan selalu pulang, menyapa bekas jejak yang mengering. orang-orang menanti, bermusim hujan jadi rindu perdu dan kenangan kekasih bunga. pulanglah selalu hujan.

Recipient:

seruni

Sent:

05:21:05

03-10-2007

***

Runi bangun tidur ketika pesan singkat—tentu saja hanya dari lelaki itu–sampai padanya. Lama Runi termenung. Sesuatu yang terasa ngilu tiba-tiba menyerang dada, membuat ia merintih panjang, seakan-akan ia amat sendiri dalam rumah bunga yang telah layu.

"Kau kenapa, Sayang," Runi bergumam, "Kau harus menungguku, aku akan segera pulang sebagai hujan. Jangan ke mana-mana, sambutlah aku di muka pintu."

Hujan turun pagi itu. Deras.

Sumber : Media Indonesia Online

Tidak ada komentar: