Selasa, 14 Oktober 2008

Tentang jiwa yang lain (3)



Perempuan yang berpikir dengan pikirannya sendiri

: Liemdays

“Aku adalah perempuan, karena aku tak mau menerima, aku tak mau disakiti, aku juga tak mau dipaksa, dan aku bukan kau!”

Siapa sangka aku akan melangkahkan kaki di tempat yang tak ingin ku pijak lagi. Tapi memang tak ada lagi pilihan. Aku harus melangkah mengikuti kemauan hati. Aku juga harus mampu. Jika tak begini, dengan apa aku memuaskan inginku. Bukankah aku pernah bilang, aku perempuan yang ingin menciptakan duniaku sendiri. Aku memiliki keputusan atas diriku. Keputusanku untuk memilih melebur dan menghindar dari apapun dan siapapun. Keputusanku untuk tidak berkomitmen pada siapapun dan apapun. Jangan katakan aku lemah, hanya karena tak mampu mempertahankanmu. Mungkin kau tak pernah tahu aku sangat menikmati betapa gaibnya perasaan ini bagiku.

Bahkan hingga kini, setelah sekian lama kita saling meninggalkan satu sama lain. Hingga

terkesan sekali bahwa diantara kita saling berlomba siapa yang lebih cepat untuk meninggalkan siapa. Perih memang terasa. Demi kebahagiaan, siapapun dan apapun pasti akan mengalami hal serupa. Ternyata sebanding, antara kebahagiaan yang ingin kita raih, dengan kepedihan yang kita rasakan. Ini adalah bagian dari proses hidup, katamu ketika itu.

Dulu dan kini, cintaku selalu mampu memaafkan segalanya. Harusnya aku mampu mengambil resiko menjadi diri yang tak lagi digerogoti rasa takut akan kau yang nyata-nyata meninggalkanku. Hingga aku lebih memililih ruang yang kurasa sunyi dan sesak, hingga aku tak tahan ingin lari darinya. Tapi aku tetap di sini, mencoba menguatkan diri tuk mendengarkan bagiamana kau akan membohongiku lagi. Mungkin kini aku lebih siap menerima resiko itu. Tak seperti beberapa tahun silam, ketika kau datang tiba-tiba setelah beberapa bulan sengaja menghilang dan tak memberiku kabar. Kau terlalu menikmati duniamu, dunia yang sampai kapanpun sulit kufahami. Mungkin karena aku tak berkeinginan memahaminya. Tapi aku menerimanya. Bersamamu, aku laiknya istri muda yang kau buat takut dan harus mengendus-endus setiap ingin menikmati waktuku bersamamu.

Ya. Di tengah kegalauanku tuk kembali mempercayaimu, tiba-tiba kau datang. Tapi saat itu kau tak sendiri, kau datang dengan keputusanmu tuk berkomitmen dengan perempuan yang mungkin lebih segalanya dariku. Spontan aku tertawa. Mungkin menertawakan diri yang kata mereka aku begitu tolol, dan menertawakan kisahku bersamamu yang begitu klise.

“Kau keterlaluan!” protesku. Setidaknya kata-kata itu mampu mewakili kekecewaanku padamu. “Bukankah ini yang kau inginkan? Kau selalu menciptakan kebenaran sendiri. Aku lelah berdebat denganmu. Itu satu hal yang menggangguku. Kalimat-kalimatmu yang tidak jelas. Jika ada sesuatu yang ingin kau katakan padaku, katakan saja!” Kebenaran itu seperti pisau merobek harga diriku.

“Ini berbeda! Kau berdusta di saat aku mencoba mempercayaimu lagi. Apa dia lebih segalanya dariku? Apakah lelaki selalu begitu? Selalu ingin memulai dan memutuskan?” Kau hanya diam.

Artinya aku harus segera menghentikan pembicaraan. Kalau tidak, suasana bisa buruk, hingga berakhir di pertengkaran. Bagaimanapun bila menyentuh soal perasaan tentu sangat sensitif. Sangat egois.

“well! hal-hal yang kita pelajari dari orang yang kita pikir kita kenal. Sudahlah lupakan!.” aku mencoba bersikap bijak.
Aku tertawa hampir histeris. Mataku adalah mata perempuan yang terbakar penderitaan. Dan aku takkan membiarkan kau menerobosnya. Berfikir bahwa akhirnya kau, setelah bertahun-tahun telah membuatku gila. Aku menerima, sepertihalnya menerima kepura-puraanmu tentang pertemuan-pertemuan kita selama ini. Setelah ini, aku sadar, takkan ada lagi yang mampu memecahkan lamunanku. Aku adalah pihak yang terluka. Rasanya aku tak mampu lagi menolehmu.

Aku telah berkata terlalu banyak, berbuat terlalu banyak. Aku menyintaimu, tetapi mungkin aku telah menyiksamu tanpa pernah kusadari. Penyesalan bertumpuk-tumpuk mengusikku di setiap kesunyian malam. Kau, lelaki yang sudah membenciku selamanya, dan aku hanya bisa menyalahkan diriku sendiri. Aku jadi merasa takut akan datangnya musim yang tak pernah tak berganti. Mungkin aku memang pantas dibenci. Tuhan tahu itu, seperti yang tak pernah ku sadari, aku sudah cukup melukaimu. Sejak kuyakin kau takkan lagi menolehku, aku seakan di dunia lain, tapi ini nyata. Meski aku sulit tuk menyadari bahwa aku memang gagal mempertahankanmu.

Aku yang tak pernah mau menetapkan diri bahwa kau tak pernah menginginkan keberadanku. Kini seperti melemparkan diri ke dinding batu. Dan aku sadar, ini harus dihentikan.

Ku akui tidak ada yang akan mengubah hubunganku denganmu yang terasa makin dangkal. Sudah waktunya aku menjauh darimu untuk selamanya. Mencoba melawan emosiku terbukti tidak berhasil, dan setiap kali melihatmu, rasanya aku akan semakin sakit hati. Dan dengan keras kepala, aku harus menutup hatiku dengan aman dalam peti es. Kini, setelah bertahun-tahun menantimu, berharap, dan menderita, hanya agar bisa bersamamu sewaktu-waktu.

Tapi kini aku memenuhi undanganmu tuk mendengarkan lagi kata-katamu. Aku sudah terlalu lama hidup dalam penantian. Aku harus mencari kehidupan untuk diriku sendiri tanpamu, betapapun hal itu akan menyakitiku. Dan sekali lagi, aku siap mengambil resiko. Tanpa harus merasa kehilangan apapun. Aku tetap dengan diriku. Dan aku bukan perempuan yang akan membiarkan kesendirian menggerogoti akar kehidupanku. Meskipun kau tak lagi menolehku.

Mungkin aku tak mau lagi mendengarkan kata-katamu. Apalagi menatap sorot matamu. Biarlah yang terjadi padaku karena ketakutanku yang begitu tolol. Kau lelaki matang dan layak untuk berkomitmen. Sedang aku? Aku perempuan yang tak lazim disebut perempuan. Aku adalah perempuan berumur yang tak pernah menyadari kebutuhannya sebagai perempuan, itu yang selalu mereka tuduhkan padaku. Padahal, aku seperti ini karena aku ingin hidup dengan caraku sendiri, dengan tak harus mematok segalanya dengan penuh kekhawatiran.

Aku terbiasa melewati jalan yang penuh terjal. Penuh perdebatan. Membiarkan segalanya begitu kusut, dan jangan coba-coba mengambil benang merahnya atau bahkan coba-coba meluruskannya. Aku ingin semuanya tumbuh dan mengalir apa adanya. Dengan begitu aku akan berusaha membuat segalanya seperti yang kuinginkan, tidak kurang tidak lebih. Hal itu juga membuatku terlindung dari segala macam keterlibatan emosional. Aku akan tetap mendaki, berpikir dan bergerak lagi untuk meluruskannya sendiri, tanpa uluran tanganmu ataupun kecupan lembutmu di ubun-ubunku, tanpa harus meminjamkan bahumu untuk gundahku.

Inginku, suatu saat kau menjadi duniaku, dunia yang ingin ku raih sendiri dengan segala dayaku, dan inginku. Bukan dunia yang seperti kau dan mereka pikirkan. Bagiku, banyak cara manusia untuk tetap hidup tanpa harus mengikuti arus kehidupan yang ada.

Aku perempuan yang mempunyai sejarah sendiri, dan bukan perempuan yang mau mengulang sejarahnya dengan lelaki yang nyaris membuat duniaku terasa sempit, terbatas, dan membingungkan. Aku yakin, tak semua perempuan adalah perempuan, karena Tuhan tidak menggunakan jari-jarinya dari satu tangan. Biarlah semuanya berjalan apa adanya. Biarlah aku menemukan diriku dalam dunia entah. Karena dunia yang sebenarnya, terlihat begitu munafik. Semua manusia ingin diperhatikan, ingin diakui lebih dan berbeda. Mustahil semuanya berjalan

Tidak ada komentar: