Selasa, 14 Oktober 2008

Tentang jiwa yang lain (4)

Menunggumu Hingga Entah

:Liemdays

Aku masih setia menunggumu. Lagi-lagi menunggumu. Selalu menunggumu.

“Kenapa kita jadi begini?,” tanyaku dalam kepenatan.

Kali ini aku menunggumu di wartel depan kosku. Meski lama, aku sengaja bertahan tidak kembali lagi ke kos. Mungkin karena aku terlalu terbiasa menunggumu disana, sehingga aku lebih memilih duduk diam dan menebak-nebak bahwa kau akan tiba dalam hitungan detik.

Alasan lainnya, karena aku tiba-tiba mudah tersinggung dengan sindiran dan ledekan teman-teman kosku. Dan seperti biasa, di kepalaku semua itu lebih mirip ejekan. Ah, mungkin aku memang terlalu sensitif. Menunggu memang berbeda dengan menanti. Entah apa lagi yang akan kulakukan jika kumenantimu yang begitu lama seprtihalnya ku menunggumu.

Menunggumu siang ini merupakan menunggu yang keberpuluh kalinya. Bisa dibilang, kini ketidaksabaranku telah melunak. Menunggumu kini, spontan membuatku menerawang pertengkaran kita yang cukup hebat. Ya, setidaknya selama dua tahunan bersamamu, pertengkaran ini yang terus menerus membuatku takut kehilanganmu.

Ketika itu, muaranya tetap sama, yakni menunggumu yang begitu lamanya. Satu setengah jam. Bayangkan. Bagiku itu waktu yang begitu lamanya. Kenapa? Karena seperti biasa, ketika kita berjanji pergi bersama, saat itu pula, pada jam itu pula, aku sudah siap seratus persen untuk pergi. Bahkan satu jam sebelum kau datang menjemputku, aku sudah siap segalanya. Acara-acara yang bisa dibilang lebih penting pun, aku batalkan hanya karena kita sudah berencana ke suatu tempat ataupun momen khusus. Sayangnya, seperti biasa, setengah waktunya hanya kuhabiskan untuk menunggumu.

Saat itu, amarahku memang tak terbendung lagi. Karena bagiku, kau memang sangat keterlaluan. Kau telah membuatku menunggu sekitar dua jam-an.

“Maksudmu apa? Kau pikir aku bodoh? Menunggumu selama itu tanpa ada kabar apakah kau batal menjemputku atau tidak! Kau sengaja membuatku menunggumu bagai orang tolol?,” aku marah besar.

Keterlaluan memang. Kau tak memberiku kabar, baik lewat sms ataupun telfon langsung. Parahnya, Hp-mu tidak aktif ketika berkali-kali aku menghubungimu, yang ada hanya tulalit. Ya, biasanya ketika kau telah berjanji menjemputku, aku tak henti-hentinya menelfonmu. Setidaknya aku bisa memastikan, apakah kau batal menjemputku atau kau terlambat mejemputku.

“Puas? Sudah membuatku menjadi orang paling tolol?,” aku masih membara.

Seperti biasa, kau hanya diam. Biasanya aku terima diammu. Tapi malam itu, aku lelah. Lelah jika hanya diam dan diam. Aku lebih memilih mengeluarkan kejengkelanku saat itu juga, daripada harus diam dan menyimpan kekecewaanku berhari-hari lamanya. Tapi kau tetap diam. Aku makin marah. Aku terhina. Diammu seakan-akan tak menghargai pertanyaanku. Tanpa komentar apapun. Hingga tiba-tiba di pinggir jalan dekat pohon besar, kau menghentikan mesin motormu. Namun kau tetap diam. Aku makin membara. Aku memutuskan untuk pergi tanpa harus membonceng di motormu lagi.

Ahirnya kau buka mulut, kau mulai menjelaskan alasan keterlambatanmu menjemputku. Namun aku masih membara. Karena saat itu masalahnya bukan hanya keterlambatanmu, tapi juga diammu yang telah menyepelekan pertanyaanku. Seperti biasa kau meminta maaf. Aku tak terima. Hingga ahirnya kita gagal menghadiri sebuah acara.

Kini, aku masih menunggumu seperti biasa, di wartel depan Kosku. Sambil sesekali meredam emosi yang ingin secepatnya kukeluarkan seperti biasanya. Meski sebenarnya, aku tetap menerima dalihnmu. Ya, selalu ada dalih kenapa kau membuatku menunggumu, meski ahirnya aku akan benar-benar mengutuk diri atas segala ketololanku.

Karena pada ahirnya pun, kau selalu punya dalih kenapa lagi-lagi kau membuatku menunggumu. Ke-aku-anku bukanlah aku yang mudah menerima dan dibodohi, dikerdilkan, dibuat tergantung dan dibuat menurut. Bahkan ketika kau dan aku telah mampu menguasai satu sama lain, bukan berarti kau bebas mendominasiku. Ya, kau takkan pernah mampu mendominasi-ku.

Jika sudah menunggu, menunggu dan menunggumu. Jika sudah sering kau berdalih. Jika sudah ada keterikatan dan ketergantungan yang absurd, aku hanya bisa menghibur diri. Dengan sesekali menerka. Mungkin saja kau ketiduran ketika kumenunggumu. Mungkin juga, kau tidak enak diajak ngobrol teman lamamu. Mungkin motormu dipinjam temanmu sehingga kau tak bisa pergi secepatnya. Mungkin kau menyelesaikan satu masalah hingga kau melupakan janjimu atau sengaja lupa. Mungkin juga kau sakit?. Mungkin juga kau berubah pikiran untuk menengokku, tapi pulsamu habis hingga tak bisa menghubungiku.

Atau mungkin juga ada perempuan selainku yang membuatmu melupakan janjimu tuk pergi bersamaku. Namun aku tetap diam ditempat yang sama. Di Wartel depan kosku. Menunggumu. Ya, aku masih menunggumu.

“Hingga kini, kupegang janjimu. Tapi esok entah,” ujarku spontan dalam hati.

Kumenunggu dalihmu. Hingga aku emosi dengan diamku, dan kau emosi dengan dalihmu. Atau aku emosi dengan kata-kata tajamku, sedang kau emosi dengan diammu. Begitu seterusnya. Hingga aku lelah menunggumu dan sejuta dalihmu. Dan hingga kau lupa akan kita. Atau mungkin aku lelah akan kita.

Tidak ada komentar: