Sabtu, 04 April 2009

Now, this blog is not active anymore
I Change my Blog into www.menjadikosong.wordpress.com

Selasa, 06 Januari 2009

Migrant Day dan TKI yang Kian Terlantar


Oleh : Alimah

Setiap tanggal 18 Desember, seperti biasa buruh migran seluruh dunia merayakan Hari Migran Internasional. Ketetapan Hari Migran Internasional bersamaan dengan ditetapkannya Konvensi (kesepakatan) PBB tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya. Perayaan ini hari buruh migran ini merupakan bentuk pengakuan internasional terhadap hak-hak kaum migran sebagai buruh, migran dan manusia. Juga berarti pengakuan dunia terhadap banyaknya masalah yang menimpa buruh migran.

Yang membedakan peringatan Migrant Day kali ini dengan peringatan tahun sebelumnya adalah peringatan kali ini berada dalam situasi krisis ekonomi dan keuangan dunia yang sedang terpuruk. Krisis ekonomi dan keuangan dunia ini sejatinya dapat dan akan berdampak pada semakin meningkatnya penindasan dan penghisapan antar manusia. Ini terjadi baik yang dilakukan di negeri-negeri penerima maupun pengirim TKI. Di negeri penerima, TKI ditindas melalui politik kontrol perbatasan, xenophobia, dan eksploitasi kerja dengan upah murah. Sedangkan di negeri pengirim, TKI ditindas melalui pengiriman “satu-pintu” dan berbagai bentuk kebijakan yang menindas serta menciptakan migrasi yang tidak aman.

Pada Tahun 2008 ini saja, lebih dari 150 buruh migran Indonesia (BMI) atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI) meregang nyawa ketika bekerja. Sementara itu kondisi TKI di luar negeri dinilai menyerupai kondisi kerja para budak pada masa lampau. Atas nama pembangunan dan devisa negara, perusahaan pengerah tenaga kerja swasta dan pemeritah secara sistematis terus menjalankan sistem yang memperbudak rakyat dengan secara masif terus mengirimkan tenaga produktif ke luar negeri, tanpa jaminan keamanan yang memadai.

Harapan perbaikan nasib TKI yang, nampak masih belum jadi mimpi yang segera terujud. Meski beberapa TKI bisa dikatakan sukses dalam memperbaiki ekonomi diri dan keluarganya, tetapi nyatanya banyak TKI disiksa, bahkan ratusan TKI mati di negeri orang. Di Singapura, TKI yang mati sejak 1999 hingga 2007 tercatat 147 orang. Di Malaysia, menurut data KBRI Malaysia, dari Januari 2008 hingga November 2008 ini saja sudah 513 warga negara Indonesia yang mati, dan sebagian besar adalah TKI. Mereka mati dalam sunyi, sepi dari pemberitaan.(KOMPAS, 17/12/2008)

TKI: Penghasil Devisa Yang Ditelantarkan Negara

Saat ini tidak kurang dari 6 (enam) juta buruh migrant Indonesia/TKI yang tersebar diberbagai negara tujuan seperti; Timur Tengah, Malaysia, Hongkong, Taiwan, Korea Selatan, Singapura, Jepang,Amerika dan Eropa sebagaimana di informasikan oleh pemerintah sendiri bahwa buruh migran telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia, dimana pemasukan devisa dari buruh migrant menduduki posisi kedua terbesar setelah minyak dan gas bumi. Sebagai catatan sementara, kontribusi devisa dari remitan buruh migran pada tahun ini mengalami peningkatan menjadi sekitar Rp 85 triliun. Angka ini jauh lebih besar dari tahun 2007 yang mencapai Rp 44 triliun dan tahun 2006 yang mencapai angka sebesar Rp 35 triliun. Angka-angka tersebut didasarkan pada penghitungan yang dilakukan perbankan dan perusahaan jasa pengiriman uang. Bila perhitungannya ditambahi dengan jumlah kiriman uang yang dilakukan secara langsung, diduga jumlah riilnya mencapai dua sampai tiga kali lipat dari angka yang tertera di atas.

Namun celakanya, kontribusi ekonomi yang cukup besar dari uang remitan buruh migran/TKI tidak sebanding dengan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah, khususnya dalam konteks perlindungan atas hak-hak dasar buruh migran. Jumlah kasus-kasus kekerasan, kematian, deportasi dan dampak pengetatan kontrol perbatasan, dan berbagai kasus pelanggaran lainnya yang menimpa buruh-buruh migran Indonesia tetap saja tinggi.

Pemerintah seolah telah semakin “mati-rasa”. Masalah-masalah muncul dan mendera para TKI pun semakin pelik dan kompleks. Hulu dari masalah-masalah itupun tidak hanya berasal dari keabaian pemerintah, melainkan juga berasal dari semakin agresifnya tekanan kebijakan dan menguatnya tensi ketegangan diantara instansi-instansi pemerintah sendiri yang berebut kue berupa remitan dan “setoran” buruh migran.

Tentu saja ini akibat kegagalan pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan di dalam negeri dialihkan dalam strategi tak bermarbat yakni menjual murah buruh ke luar negeri tanpa perlindungan. Meningkatnya jumlah penempatan TKI setiap tahun berbanding terbalik dengan kualitas perlindungan yang diterima para TKI. Setiap tahun masalah yang menimpa TKI terus berulang.

Perlakuan buruk yang diterima TKI di antaranya kerja paksa, upah tidak dibayar, penipuan, pelecahan seksual, penganiayaan, kekerasan, deportasi, dan bahkan meninggal dunia. Karena perkauan-perlakuan buruk itu berulang kali terjadi, maka kadang disalahpahami sebagai ‘resiko kerja’ yang mesti diterima para TKI. Padahal ini bukan resiko kerja, ini lebih karena tidak adanya perlindungan yang memadai.

Pembelaan Rasulullah terhadap buruh

Persoalan TKI sangat kompleks, namun kurang mendapat perhatian serius pemerintah. Fakta di lapangan, koordinasi ketenagakerjaan kita carut-marut. Berbagai kasus TKI di Malaysia menunjukkan bahwa mereka tidak terurus. Hak-hak mereka tidak diperhatikan. Baik itu gaji yang tidak sesuai dengan Upah Minimum Regional (UMR), maupun gaji yang tidak dibayar.

Dalam Islam, pemerintah dengan kekuasaannya tidak punya mandat lain kecuali memberikan perlindungan terhadap rakyat, khususnya rakyat kecil, seperti para TKI. Selain itu juga butuh peran semua pihak, terutama kaum terididik, LSM, dan kelompok-kelompok kritis lainnya dalam menyingkapi persoalan TKI. Salah satu bentuknya adalah dengan mengontrol kebijakan undang-undang tenaga kerja atau perburuhan. Diakui atau tidak, mayoritas penduduk Indonesia adalah kaum buruh atau pekerja, dalam bentuk apa pun.

Kita bisa membayangkan, jika undang-undang atau kebijakan-kebijakan yang ada tidak berpihak pada mereka. Tentunya, amat berat beban hidup yang bertengger di pundak mereka. Beban itu bukan hanya diakibatkan dari Upah Minimum Regional (UMR) yang sangat rendah, jam kerja yang berlebihan, atau tidak adanya tunjangan yang memadai, tetapi juga dari situasi dan kondisi ekonomi nasional yang carut-marut dan tidak stabil, harga-harga barang pokok yang tinggi dan biaya pendidikan yang mahal. Kondisi-kondisi riil seperti itu, harus menjadi pertimbangan, landasan, dan prinsip dalam pembuatan kebijakan.

Dalam hal hak buruh, secara tegas Rasul mengatakan; “Kepada buruh hendaknya diberikan makanan dan pakaian seperti kalian makan dan berpakaian, dan jangan bebani mereka yang melebihi kemampuannya”(HR. Bukhari). Dalam hadits lain Rasulullah bersabda, “Berikanlah upah buruh kalian sebelum keringat mereka kering” (HR. Ibn Majah). Wallahu al’am bi al-sahawab.

Jumat, 17 Oktober 2008

Bandung Bondowoso

Oleh:Gunawan Muhammad

BANDUNG Bondowoso menyusun batu dan menegakkan candi, beratus-ratus, sampai lewat tengah malam. Aneh, ia tak merasa lelah, tapi tiba-tiba ia dengar suara-suara pagi datang dari jauh.

Ia tak melihat warna fajar, tapi ia tahu ia telah gagal. Ia tak berhasil menyelesaikan 1.000 bangunan dalam waktu yang ditentukan.

Legenda Loro Jonggrang—yang menjelaskan asal-usul himpunan candi yang mempesona di Prambanan itu—memang sebuah cerita kegagalan.

Syahdan, Bandung Bondowoso yang menang perang berhasrat memperistrikan Jonggrang, putri mendiang Raja Baka yang telah dibunuhnya. Gadis itu ketakutan. Kerajaan ayahnya telah jatuh ke tangan kekuasaan Pengging—dan itu berarti ia bukan lagi orang yang merdeka. Tak mungkin ia menampik kehendak seorang lelaki yang kini dipertuan.

Tapi ia menemukan jalan lepas. Diajukannya syarat: ia akan mau menerima pinangan pendekar itu bila 1.000 candi ditegakkan dalam satu malam.

Bandung Bondowoso setuju.

Kesanggupan itu memang mengherankan, tapi di sini agaknya legenda Loro Jonggrang mengandung sebuah teks lain, yang ingin bercerita bahwa tiap kemenangan selalu mengandung kekalahan. Yang absolut tak ada di dunia. Di Prambanan dan di luarnya, perang tak akan cukup, pembunuhan tak pernah memadai, dan ada yang minus dalam tiap takhta.

Itu sebabnya kita tak tahu apa arti penaklukan: Loro Jonggrang ternyata bukan bagian dari benda jarahan. Ia merdeka. Ia bisa menuntut dengan satu syarat yang sulit, bahkan sebenarnya mustahil.

Bahwa Bandung Bondowoso, sang pemenang pembela Pengging, menerima syarat itu menunjukkan ada ambivalensi dalam hubungan kedua manusia itu. Lelaki itu berkuasa tapi perempuan itu terlepas dari hubungan memiliki-dan-dimiliki. Bahkan Bandung membiarkan dirinya masuk ke angan-angan Jonggrang. Orang bisa mengatakan bahwa yang diniatkan tumbuh dalam hubungan itu adalah cinta, dan cinta—dengan atau tanpa membaca kalimat Thomas Kempis pada abad ke-15—tak merasakan beban, tak berpikir tentang kesulitan. Cinta bahkan ”mencoba apa yang melebihi kekuatan diri”, dan ”tak minta dimaafkan di hadapan kemustahilan”.

Tapi bukan sikap angkuhkah yang mendorong Bandung menerima syarat itu? Katakanlah ini yang terjadi: sang perkasa yang telah berhasil membinasakan Raja Baka itu merasa malu untuk menyatakan tak sanggup membangun 1.000 candi dalam satu malam. Tapi keangkuhan dan rasa malu mengandung pengakuan bahwa ada orang lain—dan orang lain itu hadir dalam posisi untuk menilai dan menghakimi. Di sini keperkasaan juga menemui batasnya. Bandung Bondowoso tak dapat menafikan yang lain yang tegak di luar itu—yang lain yang memandang ke arahnya.

Saya bayangkan ia Loro Jonggrang. Saya bayangkan pada sebuah senja ia berkata kepada peminangnya: ”Sebenarnya saya takjub. Tuan tak memperlakukan saya sebagai jarahan perang. Bagaimana ini mungkin?”

”Ada hal yang mustahil yang membuat kita memilih dan berbuat,” jawab Bandung Bondowoso.

”Untuk apa?”

Bandung Bondowoso tak menjawab. Ia hanya melipat lengannya dan berjalan kembali ke markas pasukan, melewati deretan panji Pengging yang ditutupi gelap. Sejak ia menemui Loro Jonggrang—dan melihat wajahnya yang ketakutan tapi tak merunduk, mendengar ucapannya yang gemetar tapi fasih—ia tahu ada yang sia-sia dalam tiap kemenangan. Apa yang didapat para Pandawa setelah membinasakan Kurawa dan menguasai Astina dan Amarta? Seluruh generasi kedua keluarga Pandu yang seharusnya melanjutkan dinasti itu tewas di medan perang. Apa yang dicapai Rama setelah merebut Sita kembali? Ia tak yakin perempuan itu, yang bertahun-tahun disekap di Istana Alengka, seorang istri yang belum dinodai.

Kebanggaan diri dan kejayaan—mungkin itulah yang menggerakkan perang. Perang memang mengubah sejarah. Tapi, setelah itu, sejarah mengecoh para pendekar, dan lahir penulis tragedi.

”Jika saya mohon Tuan membangun 1.000 candi di sekitar bukit Prambanan itu, akankah Tuan memenuhinya?” tanya Jonggrang.

”Saya akan gentar. Tapi saya akan membangunnya.”

”Dalam satu malam?”

”Ada hal yang mustahil yang menyebabkan kita berbuat.”

Seseorang pernah mengatakan, manusia membuat sejarah karena dilecut yang mustahil: kemenangan, kejayaan, keadilan, dan hal-hal lain yang dicita-citakan sebagai alternatif bagi hidup yang tak pernah penuh.

Sebuah wilayah dengan seribu candi yang didirikan dalam satu malam adalah satu dari deretan angan-angan itu. Bahasa mencoba merumuskannya, dan itu sebabnya kata-kata tak sepenuhnya transparan. Tak pernah jelas apa yang sebenarnya ditandai dengan kata ”seribu”. Percakapan sehari-hari, retorika resmi dan nyanyian populer, (”tinggi gunung 1.000 janji”, kata sebuah lagu tahun 1950-an), menyebut angka itu lebih sebagai sebuah kiasan yang hendak mengesankan jumlah yang ”tak terhingga”.

Bandung Bondowoso agaknya tahu akan hal itu: ia harus siap menjangkau yang tak terhingga. Ketika sore mulai merayap, ia berangkat meninggalkan markas, sendiri. Konon di bukit itu para roh halus membantunya mengangkat batu dari Merbabu, menyusun dan memahatnya dengan relief yang menakjubkan.

Waktu pun berjalan, tapi apa yang membatasi ”malam” dengan ”pagi”? Fajar yang merekah, cicit burung di hutan, detakan lesung perempuan tani, atau asap dapur di balik gunuk? Atau sebuah kesadaran akan batas—yang mengingatkan bahwa yang ”tak terbatas” selalu luput?

Tapi siapa yang mengatakan kisah Bandung Bondowoso hanyalah cerita kesia-siaan tak akan memahami bahwa yang terbatas juga punya daya gugah dan mampu menyentuh hati. Ketika ia tahu ia gagal menyelesaikan 1.000 candi—dan gagal pula cintanya kepada Jonggrang—Bandung Bondowoso pergi ke belukar dan memahat sebuah patung. Ia ingin mengenang perempuan itu.

Patung itu: sebuah ikhtiar menggapai yang indah. Ia bukan keindahan itu sendiri, tapi tetap berharga hingga hari ini.

~Majalah Tempo Edisi. 35/XXXIV/13 - 19 Oktober 2006.(sumber:www.caping.wordpress.com)


ROSSA

Oleh:Gunawan Muhammad

Saya ingin bercerita tentang harapan yang tak selamanya berkaitan dengan Tuhan, meskipun ini bulan Desember. Juga tak ada hubungannya dengan kabar baik yang ditawarkan katedral baru kapitalisme, di mana lagu Malam Sunyi disebar di ruang terang-benderang bukan untuk menyambut sunyi—ruang-ruang Pondok Indah Mall, Senayan City, dan entah apa lagi.

Saya ingin bercerita tentang harapan justru dari sebuah sel gelap yang menyekap seorang yang menolak kapitalisme dan menampik Tuhan. Ia Rosa Luxemburg, tokoh besar dalam sejarah sosialisme Eropa yang akhirnya mati dibunuh.

Syahdan, pada bulan Desember 1917, Rosa menulis sepucuk surat dari Penjara Breslau. Perempuan ini disekap pemerintah Jerman karena ia, seorang warga negeri baru, dengan berani dan berapi-api menentang perang yang tengah berlangsung dengan gegap-gempita genderang patriotisme.

Tahun-tahun itu banyak hal terjadi: revolusi, aksi massa buruh, perpecahan kaum sosialis, nasionalisme yang berkibar-kibar, dan ketegangan politik Eropa dalam perang. Rosa Luxemburg disekap—setahun kemudian ia dibunuh—tapi aneh, sepucuk surat itu tak membahas hal-hal besar itu.

”Di sinilah aku terbaring,” tulisnya, ”dalam sebuah sel gelap di atas lapik yang keras seperti batu; gedung ini sesunyi sebuah pelataran gereja, begitu rupa hingga orang sama saja dengan dikuburkan.”

Seraya rebah itu ia melihat seberkas kecil cahaya jatuh lewat jendela ke atas dipan, cahaya dari lampu yang menyala sepanjang malam di depan penjara. Sekali-sekali didengarnya lamat-lamat suara gaduh kereta yang lewat atau, tak jauh dari tempat tidurnya, suara batuk kering penjaga bui yang dengan sepatu larsnya yang berat jalan-jalan sejenak untuk meluruskan kaki. Tapi dalam keadaan bosan, tak bebas, dan kedinginan itu ada perasaan ganjil:

”…jantungku berdetak dengan rasa riang yang tak terukur dan tak dapat dimengerti, seakan-akan aku tengah memasuki cahaya matahari yang cemerlang yang melintasi ladang bunga. Dan di dalam gelap aku tersenyum kepada hidup, seakan-akan akulah pemilik tuah yang memungkinkan aku mengubah semua yang keji dan tragis ke dalam ketenteraman dan bahagia”.

Kenapa? Kenapa ia bisa tersenyum kepada hidup justru dalam sel yang dijaga itu? Ia mencoba mencari jawab dan merenungkannya, tapi inilah kesimpulannya: ”Aku tak menemukan sebab apa pun, dan hanya dapat menertawakan diriku sendiri.” Entah kenapa ia percaya, seperti dikatakannya kemudian, bahwa kunci pembuka teka-teki ini ”semata-mata hidup itu sendiri”. Ditulisnya pula:

”…malam yang gelap pekat ini lembut dan cantik seperti beledu, jika saja kita memandangnya secara demikian. Geretau kerikil lembab yang terinjak oleh langkah pelan dan berat si penjaga bui juga seperti sebuah nyanyi kecil yang manis kepada hidup – bagi ia yang bertelinga untuk mendengar”.

Rosa Luxemburg tersenyum dalam gelap, riang dalam kungkungan, mendengarkan ”nyanyi kecil yang manis” biarpun dari suara langkah penjaga yang bersenjata. Dan ia tak tahu persis kenapa. Sebagaimana kita tak tahu adakah itulah saat waham datang, kita juga tidak tahu pasti apa maksudnya dengan ”hidup itu sendiri” yang ia sebut sebagai kunci pembuka teka-teki tentang perasaan itu.

Atau barangkali kita harus mencari jawabnya di tempat lain? Kita ingat pandangan hidupnya yang terbentuk oleh Marxisme. Kita ingat bahwa Marxisme memang sebuah paham yang yakin akan kemenangannya sendiri. Marxisme adalah ”ilmiah”, kata orang-orang sosialis pada zaman itu, dan ”ilmiah” berarti mempunyai kesahihan. Maka jika Marx meramalkan kelak kaum proletariat akan dibebaskan dan membebaskan, keadaan itu pasti akan terjadi. Seorang Marxis juga seorang yang yakin akan dialektika: hidup berubah, tesis akan mendapatkan anti-tesisnya, dan akan tercapai, melalui tempuk-junjung (Aufhebung), sebuah sintesis.

Rosa Luxemburg tentu belum tahu waktu itu, meskipun sudah ada yang tahu, bahwa yang diramalkan Marx tak terbukti. Itu akan terjadi 70 tahun kemudian. Ia bahkan tak tahu bahwa setahun setelah Penjara Breslau itu ia sendiri akan dibunuh oleh kaum kanan, dan gerakan sosialisme Jerman terpukul.

Bagaimanapun Rosa Luxemburg dapat dikatakan telah mencapai sesuatu yang kini mustahil kita capai, yakni harapan yang terbit karena ada kepastian dalam arah sejarah. Mungkin itu sebabnya dalam sel gelap itu ia masih mampu seakan-akan memasuki ladang kembang di bawah matahari: baginya, ia mati atau ia hidup terus, ia keluar dari sel itu atau tidak, sosialisme pasti menang.

Tapi jangan-jangan ada yang lebih kuat selain penjelasan yang bertolak dari Marxisme. Jangan-jangan, seperti John Lennon yang juga mati dibunuh, Rosa tak percaya kepada mati. Mati, bagi Lennon, hanyalah seakan-akan pindah dari mobil yang satu ke mobil lain.

Jika demikian, seseorang bisa punya kabar baik yang tak hanya berupa Natal dan iklan-iklan. ”Riwayatnya, hidupnya, karyanya, surat-suratnya, semua mengukuhkan kehidupan dan bukannya ajal,” tulis Simone Weil, pemikir Prancis perempuan itu, tentang Rosa Luxemburg. ”Tapi dengan demikian Rosa berharap ke arah aksi dan tak ke arah pengorbanan.” Dalam arti itu, kata Weil pula, tak ada yang bersifat Kristen dalam watak Rosa.

Tak ada sifat Kristen, bahkan tak ada iman. Tapi ternyata dalam posisi itu seseorang bisa menunjukkan bahwa syukur dan sabar bisa datang dalam sunyi yang mendengarkan ”nyanyi kecil yang manis kepada hidup”.

~Majalah Tempo, Edisi. 42/XXXV/11 - 17 Desember 2006~

(Sumber:www.caping.wordpress.com)

Gandhari

Oleh: Gunawan Muhammad

Ia bisa diselamatkan dari para penujum, tapi bisakah ia dibela dari nasib? Sejak Raja Subala mendengar ramalan buruk itu, ia perintahkan agar siapa saja yang hendak membaca masa depan tak diperkenankan masuk ke istana. Baginda tak akan lupa ucapan brahmana yang datang di musim semi itu—penujum terakhir yang diantar dengan bergegas ke luar balairung: ”Kelak, putri Paduka akan hidup dalam gelap, mungkin karena getir.”

Tentu saja Gandhari tak mendengar kata-kata itu.

Tapi ia praktis hidup dengan sejenis tabir. Ayahnya, Raja Subala yang lembut hati, memerintah sebuah kerajaan kecil yang tenang nun di utara, di bagian bumi yang kini disebut Kandahar. Tapi itu ketenangan yang rapuh. Ketika pada suatu hari datang utusan dengan sepucuk surat yang ditulis Bhisma, sang wali penjaga takhta kerajaan Hastina, Raja Subala tak bisa menampik. Kerajaan Hastina di seberang itu begitu kuat. Lagi pula surat itu sebuah pinangan. Siapa tak akan terbujuk jika Bhisma menyatakan Gandhari akan dipersandingkan dengan raja muda Destarastra dari wangsa Bharata?

Yang waktu itu tak diberitahukan kepada Gandhari dan keluarga kerajaan Gandara ialah bahwa sang calon mempelai seorang yang buta; Destarastra seorang yang lemah. Kerajaan Hastina praktis diperintah Pandu, adiknya yang lahir dari ibu yang berbeda. Si muka pucat yang jadi pendekar perang dan penakluk wilayah inilah yang memegang tampuk, sampai akhirnya ia meninggalkan takhta, hidup di hutan dan meninggal sebagai resi. Sejak itu Destarastra memerintah sendiri.

Gandhari berjumpa pertama kalinya dengan calon suaminya, raja muda yang dituntun itu, di kursi pelaminan. Ia terkejut. Bukan kebutaan itu yang terutama mengganggunya, tapi sikap laki-laki itu yang seakan-akan selamanya bingung, setengah pasrah setengah degil—seorang muda yang jadi ringkih di bawah bayang-bayang keagungan Bhisma dan keperkasaan Pandu.…

Tapi bisakah ia ditampik? Beranikah Gandhari membuat murka Bhisma hingga membahayakan kerajaan ayahnya?

”Ah, aku bukan kakakmu,” ia pun menulis surat ke adik-adiknya di Gandara. ”Aku hanya sebaris tugas. Aku bukan perempuan. Aku perpanjangan dari takhta kita yang ringkih.”

Adik-adiknya, terutama Sengkuni, marah mendengar penderitaan kakak mereka, tapi mereka tak mampu berbuat banyak. Hanya Sengkuni yang kelak—setelah ia berhasil mendapatkan posisi penting di Hastina—dengan cerdiknya membalas dendam: dengan tipu muslihat ia mempercepat meletusnya perang saudara yang membunuh mati Bhisma dan membinasakan keluarga Bharata.

Tapi sebelum itu, di kamarnya di Hastina, Gandhari hidup seperti murai yang terjepit. Dayang tua yang mendampinginya sejak kecil menangis. Ia teringat bisik-bisik yang didengarnya dulu: ada nujum seorang suci dari selatan yang tak boleh disiarkan.

Tapi nujum bisa dibungkam, nasib tidak. Dan yang tak adil tiap kali datang.

Kita bisa mengatakan, Gandhari adalah sebuah cerita tentang datangnya yang tak adil. Yang jarang ditafsirkan dari Mahabharata ialah bahwa perempuan ini justru yang menunjukkan apa yang cela dalam diri Bhisma, tokoh agung itu. Bhisma—sebuah sumpah yang dahsyat. Bhisma—putra mahkota yang berjanji berkorban bagi ayahnya, untuk tak akan pernah memegang tampuk kekuasaan dan tak akan pernah menurunkan anak yang kelak akan berkuasa. Bhisma—yang bersedia membiarkan Hastina diperintah anak-cucu Setiawati, permaisuri baru yang telah memikat hati si ayah, sang baginda tua. Bhisma—sebuah sikap mulia yang diberkati para dewa dengan Ichcha Mrityu, kemampuan menentukan saat kematiannya sendiri. Bhisma—sebuah tauladan gilang-gemilang.

Tapi bukankah ia sebenarnya juga satu kekuatan yang memaksa? Bukankah dulu patriarkh ini juga yang memperlakukan Ambika dan Ambalika, dua perempuan yang ketakutan—yang masing-masing melahirkan Destarastra dan Pandu—hanya sebagai hasil sayembara ketangkasan? Hadiah yang perlu didapat untuk memproduksi anak?

Bhisma: sebuah kontradiksi. Yang agung dan gilang-gemilang ternyata menyimpan yang brutal dan timpang. Memang mulia keputusannya untuk tak mau duduk di takhta, tapi ia sebenarnya berkorban untuk seorang ayah yang tak mau berkorban. Ia meneguhkan sebuah egoisme. Ia memang teguh memegang sumpah, tapi dengan demikian ia tak mencegah ketika Hastina harus dipecah jadi dua untuk memuaskan para pangeran keluarga Bharata yang berasal dari rahim dua ibu.

Gandhari memang tak menggugat itu. Tapi ia, si pelengkap penderita dalam epos keluarga Bharata, justru mengungkap banyak hal. Ini dimulai ketika ia memutuskan untuk menutup kedua matanya dengan seuntai kain hitam, sampai mati, agar tak melihat apa-apa.

Aduhai, ia istri yang setia, puji sebagian orang: perempuan yang bersedia mengorbankan diri agar senasib suaminya yang tunanetra.

Bukan, ia perempuan yang getir, cela sebagian yang lain: ia tak hendak melihat bagaimana anak-anak pasangan Pandu dan Kunti—para Pandawa—jauh cemerlang ketimbang para Kurawa, anak-anak Gandhari sendiri, yang bebal dan dengki.

Tapi mungkinkah hanya itu? Bagi saya tidak. Gandhari melakukan itu karena ia, yang menanggungkan kesewenang-wenangan nasib dan sejarah, menemukan satu cara melawan. Saya bayangkan ia berkata kepada dayangnya yang setia: ”Emban, kututup mataku karena aku tak ingin hidup hanya mengutamakan penglihatan yang tajam dan cahaya cemerlang—memuja keunggulan memanah, kemilau baju zirah, berkibarnya panji-panji, tegasnya tapal batas. Mata dan terang bisa menghadirkan benda di ruang yang jauh, di dalam dan di luar peta, tapi rabaanku menghargai apa yang dekat dan akrab, telingaku bertaut dengan bunyi dalam waktu.”

”Dengarkan Emban, derap perang besar itu, seakan-akan ada garis yang lurus yang jelas antara yang adil dan tidak. Tapi benarkah? Cahaya memang menerangi dunia, tapi ia tak pernah memperjelas dirinya sendiri. Aku ingin hidup tanpa cahaya.”

~Majalah Tempo, Edisi. 45/XXXV/01 - 7 Januari 2007~

(sumber: www.caping.wordpress.com)

Surat

Oleh Gunawan Muhammad

Kartini tak dikenal. Sebuah lagu yang memujanya dan dinyanyikan tiap 21 April menyebutkan betapa ”harum namanya”. Ia memang telah jadi aikon sejak dasawarsa awal abad ke-20, sebelum Bung Karno dikenal di pelbagai mimbar. Tapi Kartini lebih merupakan ”pokok” ketimbang ”tokoh”.

Ia sendiri memilih untuk berlindung. ”…aku ingin [menulis di surat kabar] tapi tidak dengan namaku sendiri. Aku ingin tetap tidak dikenal… di Hindia ini”—begitulah tulisnya dalam surat bertanggal 14 Maret 1902.

Ia seakan-akan memakai cadar. Ayahnya, sang Bupati Jepara yang mencintainya dan dicintainya itu, menjaga agar hal itu seterusnya demikian. Bapak itu gagal, sebab akhirnya Kartini mau tak mau dikenal. Tapi itu tak menyebabkan ia terjangkau orang ramai. Dengan catatan: ”cadar” sebetulnya bukan kiasan yang tepat di sini. Lebih baik dikatakan, Kartini bertatarias.

Ia tak sepenuhnya tak terlihat. Ia memperkenalkan diri dan mengisahkan harapan dan kemurungannya kepada sejumlah orang lewat surat-menyurat. Praktis hanya dengan korespondensi itu kita tegakkan Kartini sebagai tokoh. Atau lebih tepat sebagai pokok. Sebab Kartini tetap mengelak untuk disimak siapa sebenarnya dia.

Danilyn Rutherford pernah menelaah hal ini dalam sebuah esai, ”Unpacking a National Heroine: Two Kartinis and Their People”, dalam jurnal Indonesia yang terbit di Cornell University; ia membandingkan buku S. Soeroto, penulis Kartini, Sebuah Biografi, dan Pramoedya Ananta Toer, yang menulis Panggil Aku Kartini Saja. Kesimpulannya: semua tulisan tentang ”pendekar kaumnya” ini hanya tafsir, dan tiap tafsir merupakan hasil ”penetrasi politik tertentu ke dalam teks tertentu”.

Yang tak dibahas adalah bahwa jarak antara ”Kartini-yang-sebenarnya” dan ”Kartini-dalam-tafsir” justru terjadi karena medium yang dipilih Kartini sendiri.

Seandainya ia menulis catatan harian, dan kita bisa menemukannya….

Di sebuah kesempatan lain pernah saya katakan catatan harian adalah curahan konfesional tanpa pastor. Dalam medium ini, sang penulis masuk dan diam di sebuah ruang komunikasi yang paling intim, tapi juga berada dalam ruang pikiran dan imajinasi yang hampir tanpa batas. Tak ada orang lain. Atau orang lain itu (seperti dalam catatan harian Anne Frank) diciptakannya sendiri dan berada di bawah ampuannya: teman bicara imajiner itu tak bisa menjawab.

Kecuali bila seseorang sadar bahwa catatan hariannya suatu ketika akan dibaca orang, ia praktis bebas dari tatapan orang lain. Ia tak berada di pentas.

Ia akan berada di pentas menghadapi orang banyak jika ia jadi sosok media massa. Tapi ada paradoks dalam teknologi Guttenberg dan kapitalisme-cetak: media massa itu menjangkau sebuah audiens yang besar, ia bisa luas didengar, tapi ia juga membuat seseorang rentan. Sang penulis bisa merasa dalam kekuasaan. Tapi ia juga dalam sorotan yang tak bisa dikendalikannya.

Sebab ia tak mengenal audiensnya dengan akrab. Ia hanya menduga-duga, baik tingkat informasinya maupun potensinya menerima informasi baru, baik nilai-nilainya maupun kecemasannya.

Ketidakpastian inilah agaknya yang menyebabkan Kartini gentar dan mengelak. Ia memilih berkorespondensi antarteman.

Dalam korespondensi, ada seorang lain yang nyata, yang bisa bertanya dan bereaksi. Orang lain itu juga dapat diidentifikasikan, dan dari sini lebih mungkin terjalin keakraban.

Tapi apa boleh buat, keakraban itu mengandung ambivalensi.

Ini tampak dalam surat-menyurat Kartini dengan Stel-la Zeehandelaar. Perempuan muda dari Belanda ini ”sahabat pena”-nya. Persahabatan itu terjalin, tapi di antara kedua penulis surat terbentang jarak ribuan kilometer. Keduanya hanya dihubungkan dengan sebuah instrumen kecil untuk menyampaikan kata-kata: ”pena”.

Itu sebabnya Stella—yang surat-suratnya tak pernah diketemukan—tampil sebagaimana Kartini merautnya dengan pena itu. Juga sebaliknya: kepada Stella, Kartini merepresentasikan diri terbatas sebagai respons terhadap surat sahabatnya. Ia bernegosiasi, dengan menggunakan bahasa yang ia pelajari, untuk menyesuaikan dan mengubah persepsi, untuk merumuskan identitas atau memodulasi identitas itu, untuk memilih apa yang dikatakannya dan apa yang tak dikatakannya.

Itu sebabnya, dalam surat-surat Kartini, ungkapan ekspresif silih berganti dengan kalimat yang menjelas-jelaskan. Kehangatan dan keakraban silih berganti dengan rasa berjarak. Stella, yang disebutnya ”pasangan jiwa”, tetap seorang asing.

Dengan kata lain, ke arah Stella, Kartini memakai rias. ”Panggil aku Kartini saja,” tulisnya—sebuah kalimat yang mungkin lebih merupakan cara Kartini untuk memudahkan Stella memahami dan menerima dirinya, seraya memudahkan dirinya sendiri dalam memilih identitas. Apa arti ”Raden Ajeng” bagi seorang Belanda yang pengertiannya tentang aristokrasi berasal dari sejarah Eropa? Apa arti gelar itu bagi seorang gadis Jawa yang tahu dirinya tak 100% berdarah ningrat?

Kepada Stella Kartini mengatakan, ”Ibuku masih sangat terhubung dengan Kerajaan Madura.” Tapi Kartini tahu, dan Stella tidak, bahwa ”Ibu” di sini bukanlah ibunya sendiri, melainkan ibu tirinya, permaisuri Bupati Jepara. Status ibu kandung Kartini, seorang dari kelas bawah, hanyalah selir.

Tapi haruskah semua jelas tentang sebuah aikon? Bahkan sebagai aikon, orang dapat membacanya secara bertentangan. Dalam lagu karya W.R. Supratman itu ia disebut ”pendekar bangsa, pendekar kaumnya”, tapi yang bagi saya menyentuh dalam sosok Kartini justru dirinya yang terbelah: ia menjerit dan sebab itu didengar, ia korban dan sebab itu jadi lambang. Kita tahu akhirnya ia gagal: seorang penentang poligami yang mati muda sebagai seorang madu. Tapi kegagalan itulah yang menunjukkan betapa tak adilnya sistem tempat ia hidup—dan Indonesia pun berteriak, ”Jangan, jangan lagi!”


~Majalah Tempo Edisi. 09/XXXIIIIII/23 - 29 April 2007~

Rabu, 15 Oktober 2008

Bhutto

Sejarah apakah ini, yang dicatat Rawalpindi? Beberapa menit setelah pukul 5:30 sore 27 Desember 2007 itu, seorang lelaki kurus membunuh Benazir Bhutto yang baru selesai berpidato di rapat umum di Taman Liaquat Bagh. Setidaknya, itulah cerita menurut beberaoa saksi: tokoh politik itu sudah duduk dalam mobil tapi menjulurkan kepalanya ke luar kap atap. Sebuah tembakan terdengar. Sebuah bom meledak. Benazir rubuh. Dengan cepat mobil membawanya ke rumah sakit umum kota itu. Pada pukul 6: 16, ia tak bernyawa lagi.

Ledakan bom itu menewaskan sekitar 30 orang. Kelimun orang itu histeris.

“Semoga Tuhan menjaga keselamatan Pakistan”.

Itu kata-kata terakhir seorang pemimpin lain, di tahun 1951. Dia Liaquat Ali Khan, perdana menteri pertama. Ia juga tewas, ditembak, setelah berpidato di taman yang sama – sebuah alun-alun yang kemudian dikekalkan dengan namanya.

Jika kata-kata terakhirnya sebuah doa, maka doa itu tak dikabulkan Tuhan agaknya. Di pagi hari 4 April 1979, tak jauh dari taman itu, di penjara Rawalpindi, Zulfikar Ali Bhutto, ayah Benazir, bekas presiden dan perdana menteri, digantung mati oleh pemerintahan militer Jenderal Zia ul-Haq, dengan tuduhan ia telah membunuh seorang lawan politiknya

Sejarah apakah ini, yang dicatat di Rawalpindi?

Benazir dibunuh: keluarga Bhutto adalah tragedi Pakistan. Tiga dari empat dari anak Zulfikar dengan isterinya, Nusrat, tewas. Di tahun 1985, Shanawaz, si putra bungsu, ditemukan mati di Riviera Prancis dalam umur 28. Keluarganya mengatakan ia diracun. Di tahun 1996, adik Benazir yang juga jadi musuh politiknya, Murtaza, mati dalam tembak menembak dengan polisi Pakistan. Fatima Bhutto, anaknya yang kini jadi penyair dan kolumnis, tak pernah memaafkan Benazir, sang bibi.

Walhasil, riwayat Bhutto adalah bagian dari sejarah kekerasan politik, sejarah kegagalan mengelola konflik, sejarah kekecewaan.

Pakistan berdiri sebagai bagian dari India yang memisahkan diri, hingga kedua republik itu lahir di tahun yang sama, 1947. Tapi sementara India kini mulai bangkit sebagai kekuatan ekonomi, Pakistan – dalam kata-kata Penulis Tariq Ali di kotan The Guardian pekan lalu – hanya sebuah “conflagration of despair”, rasaputus asa yang menjalar bagaikan gelombang api.

Tentu, India juga mengandung sejarah kekerasan dan pembunuhan politik. Tapi sampai hari ini demokrasi di India bisa bertahan, (meskipun terkadang dengan ledakan yang menakutkan seperti bengisnya fundamentalisme Hindu), seraya membuktikan dapat menaikkan pertumbuhan ekonomi sampai 9% setahun.

Pertumbuhan ekonomi Pakistan sendiri tak buruk amat, sampai 7%. Aktifitas politik dan pers di negeri itu lebih bebas ketimbang di Malaysia atau Singapura yang tenang bak akuarium. Tapi lembaga yang menopang struktur politiknya dijalari ketak-pastian. Tiap rezim yang dijaga bedil tentara adalah sebuah rezim yang diam-diam meragukan legitimasinya sendiri. Maka berkecamuklah politik paranoia. Pintu dan saluran dijaga ketat. Dalam keadaan bumpet, desakan mudah jadi eksplosi.

Kenapa? Karena “Islam”?

Saya kira bukan. “Islam” adalah sebuah nama yang maknanya dirumuskan dengan beberapa patokan yang tetap. Yang sering diabaikan ialah bahwa patokan itu – katakanlah hukum syari’at — tak selamanya mampu mewakili “Islam” yang dianggit, yang diimajinasikan secara sosial dalam sejarah – imajinasi yang berlapis, beragam dan mengalir terus seperti, untuk memakai istilah Castoriadis, “magma.”

Di tahun 1930, ketika Mohammad Iqbal, penyair dan filosof itu, merumuskan argumennya agar minoritas Muslim di India punya tanahairnya sendiri, ia tampak berpikir bahwa pengertian tentang identitas “Islam” adalah realitas yang sudah siap pakai seperti briket bata. Iqbal menganggap gampang dan jelas agenda mendirikan negeri kaum Muslimin tersendiri. Ia tak melihat bahwa tiap wacana tentang identitas sosial selalu mengandung konstruksi atas arus yang “magmatik”. Konstruksi itu ditentukan oleh sebuah “pusat.” “Pusat” itu adalah sang pemenang dalam pergulatan mencapai posisi hegemonik.

Saya katakan “pergulatan”: ada gerak politik di dalam tiap perumusan identitas sosial. Itulah yang tak dilihat Iqbal. Ketika Pakistan dimaklumkan kelahirannya bersama India, dengan segera tampak jarak antara niat luhur seorang filosof dan politik paranoia yang mencemaskan.

Politik punya sejarah yang tak hanya terdiri dari membangun imajinasi bersama dan memberi makna bersama. Machiaveli mengingatkan hal ini sebenarnya: ia berbicara tentang kekuasaan bukan sebagaimana “seharusnya,” melainkan sebagaimana “adanya.” Politik sebagaimana “adanya” adalah yang kemudian dirumuskan dengan brutal oleh Carl Schmitt sebagai das Politische: di dasarnya adalah antagonisme.

Itu sudah tampak sebenarnya ketika perpisahan India-Pakistan dilaksanakan. Tapal batas digariskan terkadang dengan seenaknya dari meja para administratior Inggris. Syahdan, sebanyak 14,5 juta manusia bertukar tempat. Karena kedua republik baru itu belum siap mengelola sebuah migrasi besar-besaran, kebingungan yang meresahkan berakhir dengan bentrokan yang meluas. Tanah berpindah tangan, keluarga terpisah, komunitas asal retak – dan sekitar 500 ribu manusia mati hari-hari itu.

Lahirnya Pakistan dan India memang bukan kisah yang suci murni. Tapi bila India lahir tanpa memakai label agama, dan sebab itu mengakui dirinya tak sempurna – hingga lebih siap menghadapi apa yang busuk, brutal, dan bingung dalam tubuhnya – dalam kasus Pakistan label “Islam” telah menutupi apa yang cacat dan yang celaka – juga menyembunyikan yang retak. Bertahun-tahun orang hidup dengan ideologi ”keutuhan” itu. Akhirnya adalah kekerasan – atau ledakan amarah yang mencoba menolak apa yang tak bisa ditolak, bahwa “Islam” dan “Pakistan”, (ya, bahkan “Bhutto”), adalah nama tentang sesuatu yang tak pernah utuh.



“Semoga Tuhan menjaga keselamatan Pakistan” – dan berkali-kali pembunuhan terjadi di Rawalpindi.



~Majalah Tempo Edisi. 45/XXXVI/31 Desember - 06 Januari 2008~

Sumber: www.caping.wordpress.com