Jumat, 26 September 2008

Ramadhan: dari orang-orang yang terpinggirkan hingga ketinggian spiritualitas

Oleh: Alimah


Apa yang membuat bulan Ramadhan menjadi begitu penting? Mengapa tidak seperti ini saja setiap bulan?. Mungkin pernah terlintas dalam pikiran kita pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sederhana sekali, ini erat kaitannya dengan kondisi manusia. Kita belum mampu mempertahankan satu level kesadaran akan Allah selama setahun penuh. Seandainya kita mampu, Ramadhan tidak akan lagi menjadi Ramadhan. Pun, jika musim panas tidak diimbangi dengan musim dingin, ia hanya akan dianggap sebagai “suatu waktu”, bukan sebagai “musim panas”. Maka jangan pernah bertanya mengapa tidak musim panas saja selamanya. Lebih baik bertanya “apa yang harus dilakukan pada musim panas agar kita bisa menikmatinya dan tetap menyiapkan datangnya musim dingin”.


Mari kita tengok sekilas sejarah Nabi Muhammad SAW terkait bulan suci ini. Bulan ini merupakan suatu masa ketika Nabi secara rutin berdiam diri di pegunungan Makkah untuk memohon perlindungan dari kejahatan dan ketidakadilan masyarakat Arab sebelum Islam. Di Gua Hira-lah ia menerima wahyu pertama. Lama setelah itu, setelah Islam meluas, praktek i’tikaf—berdiam diri di masjid selama satu bulan penuh dan sepertiga terakhirnya—menjadi kebiasaan di antara orang-orang muslim yang ahli ibadah. Bulan ini diakhiri dengan menyucikan diri dengan zakat fitrah, semacam sedekah yang diberikan pada fakir miskin untuk mengesahkan puasa dan memastikan bahwa puasa yang telah dilaksanakan layak dirayakan.


Di sini, kita bisa merefleksikan beberapa kesulitan dan keuntungan yang ditimbulkan oleh bulan Ramadhan: masalah orang yang terpinggirkan (orang miskin dan perempuan), masalah sulitnya memberi makanan jiwa, dan terakhir, relevansi puasa dengan kehidupan kita saat ini.


Seringkali, saat kita merenungkan tentang penderitaan yang ada di sekililing kita—semua terjadi karena tangan kita sendiri—seakan heran mengapa Allah masih membiarkan dunia ini tetap hidup. Apakah ini karena ibadah dan keikhlasan sedikit orang yang dalam beberapa waktu yang lama hanya untuk shalat dan berkontemplasi.


Tetapi, dengan pikiran menghibur semacam ini masih saja ada mendung gelap. Meskipun di beberapa belahan dunia perempuan juga sering mengisi masjid, kegiatan berdiam diri di masjid selama sepuluh hari terakhir bulan ramadhan dibatasi hanya untuk laki-laki. Respon terhadap kesadaran akan keadilan gender (relasi antara laki-laki dan perempuan) dalam Islam atau dalam masyarakat Islam, memang sangat beragam. Sekali lagi di sini kita seakan menemukan persekongkolan antara ketidakadilan dengan agama terhadap perempuan.


Hari-hari terakhir Ramadhan juga diperuntukkan bagi setiap orang yang berpuasa agar ikut andil dalam sesuatu yang disebut sebagai “harga hari raya” bagi orang-orang yang tidak mampu. Hasil yang minimal diperbaiki dan disucikan sebelum seseorang bersujud di pagi hari pada hari raya yang menandai berakhirnya Ramadhan.


Dengan demikian, kita diingatkan bahwa kewajiban puasa—di samping demi kedisiplinan kita sendiri serta mendapatkan ridha Allah—juga berkenaan dengan tanggung jawab terhadap sekeliling kita. Karena Ramadhan sendiri merupakan bulan yang menunjukkan kasih sayang Allah yang tinggi. Selain itu, menunjukkan perjuangan yang lebih intensif untuk meraih kedekatan dengan Allah menahan diri dari makanan, minuman, aktivitas seksual dari fajar sampai matahari terbenam di satu sisi, dan meningkatkan aktifitas ibadah di sisi lain. Aktivitas itu akan berlangsung selama satu bulan, dan merupakan bagian intrinsik dari perjuangan ini.

Akan tetapi, Ramadhan ada yang lebih penting dari pada aktifitas formal di permukaan. “banyak orang,” kata nabi, “berpuasa tapi tidak mendapatkan apa-apa selain rasa lapar, dan shalat tetapi tidak mendapatkan apa-apa selain rasa lelah.”


Puasa merupakan satu pilar Islam, dan sebagaimana pilar semenarik apapun bentuknya dari waktu ke waktu dimaksudkan untuk menyanggah struktur: kita membangun di atasnya. Dengan demikian, selama satu bulan itu kita diajak untuk belajar tentang kedisiplinan, kesabaran, pengendalian hawa nafsu dan pengorbanan. “jika ada orang yang ingin mengajakmu berdebat maka katakanlah aku sedang puasa” kata Nabi.


Puasa, sekali lagi, disamping untuk memperoleh Ridha Allah, pengendalian diri selama sebulan ini lebih banyak berkenaan dengan orang lain dan dengan bagaimana kita berhubungan dengan mereka. Kekhusyukan membutuhkan momen-momen tertentu untuk melakukan refleksi dan ibadah dengan tenang, tapi Ramadhan bukan semata-mata untuk itu; ramadhan adalah tentang menguji keimanan seseorang di dunia nyata, di mana selalu ada peperangan antara keadilan dan ketidakadilan.


Bukan kesempurnaan, tapi peningkatan


“Harga hari raya” bagi orang-orang yang tidak mampu, merupakan bagian ramadhan yang menarik. Meskipun untuk waktu yang lama kita sempat percaya, bahwa sebab utama mengapa banyak orang meninggal akibat kekurangan makan, adalah karena ada beberapa orang yang terlalu banyak makan. Karena itu, kita juga harus merenungkan dari mana datangnya kedermawanan dan kebaikan.


Seringkali semua ini mengimplikasikan bahwa orang-orang miskin akan selalu ada. Bahwa kita membutuhkan mereka untuk menyucikan diri kita sendiri. Sehubungan dengan hal ini, ada fakta lain yang juga amat meresahkan. Banyak ulama, dan tentunya orang-orang muslim yang punya kesadaran social, sering mengatakan bahwa salah satu alasan kita berpuasa adalah untuk berbuat kebaikan kepada orang miskin dan orang yang kelaparan. Bukankah itu berarti kita beranggapan bahwa orang Muslim itu kaya atau setidaknya berkecukupan? Siapa yang membangun wacana bahwa yang kaya adalah subyek agama, yang miskin adalah obyeknya dan kita meski tanpa sadar beranggapan bahwa mereka tidak berpuasa atau tidak harus berpuasa?
Kini kembali lagi ke pertanyaan awal. Apa yang membuat bulan Ramadhan menjadi begitu penting? Mengapa tidak seperti ini saja setiap bulan?. Benar bahwa kita belum mampu mempertahankan satu level kesadaran akan Allah selama setahun penuh. Ini juga tentang betapa sulitnya mempertahankan ketinggian spiritual.


Seandainya kita mampu, Ramadhan tidak akan lagi menjadi Ramadhan. Pun, jika musim panas tidak diimbangi dengan musim dingin, ia hanya akan dianggap sebagai “suatu waktu”, bukan sebagai “musim panas”. Maka jangan pernah bertanya mengapa tidak musim panas saja selamanya. Lebih baik bertanya “apa yang harus dilakukan pada musim panas agar kita bisa menikmatinya dan tetap menyiapkan datangnya musim dingin”.


Diumpamakan perahu-perahu yang aman di pelabuhan, dan ini membuat kita ingin terus berada di sana, tetapi bukan itu alasannya mengapa perahu dibuat. Bulan puasa adalah masa di mana kita kembali ke dermaga untuk membenahi jiwa yang rusak dan mempersiapkan perjalanan berikutnya untuk menjadi lebih dekat dengan Allah dengan ke-diri-an kita yang lebih mulia, dengan alam dan dengan sesama manusia.


Tetapi baru beberapa hari setelah Ramadhan berakhir, ternyata jalan tidak semulus saat perahu-perahu berada di dermaga. Bahkan bagi sejumlah orang, berdiam diri di dermaga itu sendiri menjadi sedikit membosankan di tengah jalan. Kita tidak lagi pergi untuk shalat tarawih. Intensitas ritual kita terkesan hancur semuanya disebabkan beratnya persiapan menghadapi perayaan Idul Fitri, hari kemenangan.


Lalu apa artinya awalan yang kita buat kalau kita tidak mempertahankannya. Buat apa kita berpuasa kalau kita tidak shalat lima kali dalam sehari. Kewajiban kita adalah untuk memastikan bahwa pada pelabuhan berikutnya, kondisi kapal kita lebih baik dari sebelumnya. Artinya bahwa bulan ramadhan berikutnya kita lebih baik dari sebelumnya.


Fakta bahwa kita tidak akan atau tidak mampu mengerjakan segala hal, bukanlah satu alasan yang kuat untuk menolak melakukan suatu hal. Karena bukan kesempurnaan yang ingin kita raih, akan tetapi peningkatan.

Tidak ada komentar: