Jumat, 26 September 2008

Perempuan dan Wajah Kusam Pendidikan Kita

Oleh: Alimah (6/4/07)


“Kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di mana-mana adalah petunjuk bahwa kekerasan ada di mana-mana dan setiap orang bisa menjadi korban, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak,”


Kalimat tersebut dikatakan Dr. Yakin Ertürk saat mendapat mandat PBB untuk mengunjungi Indonesia atas undangan Komnas Perempuan tahun 2004 lampau. Ertürk menambahkan, bahwa perjuangan menolak kekerasan terhadap perempuan bukan "pertempuran" antara perempuan dan laki-laki, bahkan ia juga mengajak laki-laki dan perempuan bersama berjuang menghapus kekerasan pada perempuan. Kekhawatiran Ertürk sudah menjadi rahasia umum, bahwasannya kekerasan, apapun bentuknya, kapan dan dimanapun terjadinya, siapapun pelakunya, sudah seharusnya menjadi perhatian yang serius suatu negara.


Konflik bersenjata, kemiskinan, kelaparan, HIV/AIDS, perdagangan manusia, fundamentalisme, bencana alam, dan lain-lain, adalah gambaran muram situasi perempuan. Berbagai potret kekerasan terhadap perempuan selama ini telah memperlihatkan kepada kita bahwa kekerasan terhadap perempuan sudah begitu membudaya dalam masyarakat, dan karenanya untuk sebagian, sudah diterima sebagai sesuatu yang given atau taken for granted. Kekerasan terhadap perempuan juga bukan semata dalam bentuknya yang fisik, melainkan juga pada bentuk-bentuk kekerasan yang tidak mudah untuk diidentifikasi. Misalnya, kekerasan psikis, kekerasan spiritual dengan korban yang bukan hanya tertekan jasmaninya, tapi juga rohaninya.


Demikianlah tradisi, ia mengakar dan mengajar masyarakat tentang berbagai hal, termasuk bagaimana seharusnya menjadi perempuan atau lelaki. Mitos-mitos kecantikan dan seksualitas sebagian juga lahir lewat tradisi, dan sebagian dari kita sendiri tanpa sadar masih memelihara dan membiarkannya turun kepada generasi anak-anak kita. Hal tersebut juga diperburuk oleh globalisasi kapitalisme dan program penyesuaian struktural (SAP), sehingga keadaan perempuan saat ini tidak lebih baik dibandingkan 30 tahun lalu.


Kini, situasi hak asasi perempuan mencatat beberapa perubahan ke arah keadaan yang lebih memberi harapan walaupun persoalan kekerasan dan diskriminasi masih jauh lebih banyak lagi yang menunggu diselesaikan. Seperti realitas yang digambarkan harian KOMPAS, dua organisasi nonpemerintah, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta dan Mitra Perempuan, melaporkan catatan situasi perempuan tahun 2005 yang memperlihatkan perbaikan keadaan perempuan, dan pada saat yang sama masih memprihatinkan. Kedua organisasi tersebut mencatat naiknya jumlah perempuan yang melaporkan kekerasan yang mereka alami. Mitra Perempuan mencatat sepanjang tahun lalu jumlah perempuan yang mengadukan kasusnya ke lembaga ini di Jakarta, Tangerang, dan Bogor sebanyak 455 kasus, naik sebanyak 38,3 persen dibandingkan dengan tahun 2004. Demikian pula jumlah pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan kepada LBH APIK meningkat dari 817 kasus pada tahun 2004 menjadi 1.046 kasus tahun 20005.


Kebanyakan kasus yang masuk adalah tentang kekerasan dalam rumah tangga. Meskipun jumlah korban yang melapor meningkat, tidak semua korban bersedia menyelesaikan kasusnya. Kasus LBH APIK memperlihatkan, dari seluruh kasus yang masuk sebanyak 314 kasus adalah kekerasan dalam rumah tangga. Namun, hanya 19 kasus di antaranya yang dilaporkan ke kepolisian dan dari jumlah itu hanya delapan kasus yang diproses dengan menggunakan pasal-pasal dalam UU PKDRT. Dari kedelapan kasus tersebut, enam adalah kasus kekerasan fisik, satu kasus kekerasan ekonomi, dan satu kekerasan psikis. Hubungan pelaku dengan korban adalah suami pada istri (enam kasus), orangtua pada anak (satu kasus), dan majikan dengan pekerja rumah tangga (satu kasus).


Masih Banyak Persoalan, tetapi Ada Perbaikan Situasi


Nunuk Murniati, dalam Getar Gender (Perempuan Indonesia Dalam Perspektif Sosial, Politik, Ekonomi, Hukum, Dan HAM), mengatakan bahwa kekerasan adalah perilaku atau perbuatan yang terjadi dalam relasi antarmanusia, baik individu maupun kelompok, yang dirasa oleh salah-satu pihak sebagai satu situasi yang membebani, membuat berat, tidak menyenangkan dan tidak bebas. Situasi yang disebabkan oleh tindak kekerasan ini membuat pihak lain sakit, baik secara fisik, psikis, maupun rohani. Sehingga individu atau kelompok yang sakit ini sulit untuk bebas dan merdeka. Namun situasi sakit atau dalam belenggu itu, tidak akan dirasa oleh korban apabila situasi itu sudah merupakan satu bentuk kebiasaan. Lebih-lebih sudah dikemas menjadi ‘sebuah wacana’ atau mitos yang ‘dikunci mati’. Kekerasan juga merupakan tindakan yang terjadi dalam relasi antar manusia, sehingga untuk mengidentifikasi pelaku dan korban juga harus dilihat posisi relasi.


Kekerasan dalam rumah tangga sudah merupakan perbuatan yang perlu dikriminalisasikan, karena secara substansi telah melanggar hak-hak dasar atau fundamental yang harus dipenuhi negara seperti tercantum dalam pasal 28 amandemen UUD 1945, Undang-undang no. 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againsts Women), dan Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sejauh ini terbukti tidak mampu memberi perlindungan bagi korban KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Karena kedua aturan tersebut masih sangat umum, tidak mempertimbangkan kesulitan-kesulitan korban untuk mengakses perlindungan hukum, terutama karena jenis kelaminnya.


Dalam konteks budaya patriarkhi, para perempuan korban KDRT menghadapi berlapis-lapis hambatan untuk mengakses hukum, seperti tidak mudah melaporkan kasusnya karena berarti membuka aib keluarga. Ragu melaporkan karena bisa jadi ia yang dipersalahkan karena kurang mampu mengurus suami/keluarga, karena kata orang ‘tidak ada asap kalau tidak ada api’. Takut melaporkan karena bisa memperparah kekerasan yang dialami. Suami semakin gelap mata kalau mengetahui istrinya berani melaporkan dirinya, yang berarti mencemarkan status sosialnya sebagai kepala keluarga. Khawatir kalau melapor, ia akan dicerai dan menjadi janda. Bagaimana ia kelak dan bagaimana anak-anak? Berani melapor ke polisi tapi ternyata respon aparat tidak serius karena menganggapnya sebagai masalah privat. Berani melapor dan ada bukti kuat, tetapi ancamannya pidana penjara. Berarti suami akan dikurung. Bagaimana nafkah keluarga? Sekolah anak-anak? Siapa yang akan menjamin biayanya? Sebab, selama ini baik sistem sosial dan hukum telah membuat ia (istri) tergantung secara ekonomi terhadap sang kepala rumah tangga.


Realitas perempuan tersebut menggambarkan kesulitan yang dialami perempuan ketika menempuh jalur hukum. Selain itu, ada biaya yang harus dikeluarkan untuk mondar- mandir ke pengadilan. Di luar persoalan kekerasan di dalam rumah tangga, perempuan yang dilacurkan masih dianggap sebagai pelaku kriminal dan bukannya korban ketidakmampuan negara memberi lapangan kerja yang memadai untuk mengatasi kemiskinan. Pengkriminalan terhadap mereka dapat dilihat dari berbagai penertiban oleh aparat Tramtib yang mengejar-ngejar pekerja seks seperti mengejar pelaku kriminal. Padahal, di antara mereka ada yang merupakan korban perdagangan orang dan karena ketidakmampuan mencari lapangan kerja lain yang memberi penghasilan layak.


Persoalan lain menyangkut tenaga kerja perempuan yang mengalami pemutusan hubungan kerja setelah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak bulan November 2005. Hampir 90 persen buruh di pabrik Garmen adalah perempuan, sehingga kebijakan pemerintah tersebut juga menyengsarakan perempuan. Apabila dilihat satu per satu, masih terjadi kasus buruh perempuan yang haknya tidak dipenuhi, yaitu upah di bawah upah minimum, dilarang bergabung dengan serikat buruh, kamar mandi tidak layak, tidak dipenuhi kesehatan dan keselamatan kerja, dan tidak diakomodasinya hak atas kesehatan reproduksi. Salah satu kasus menyangkut seorang buruh yang dipotong gajinya saat hamil dengan alasan kehamilannya mengurangi produktivitasnya.


Pekerja rumah tangga adalah kelompok lain yang rentan terhadap kekerasan, baik fisik, ekonomi, psikis, maupun seksual. Banyak dari mereka tidak berani mengungkap kekerasan yang dialaminya karena mereka membutuhkan upah yang diterimanya untuk menghidupi keluarga di kampung. Dari sisi Undang-undang (UU), sampai sekarang belum juga diselesaikan penyusunan UU Anti perdagangan orang. Amandemen UU Kesehatan yang isinya antara lain; memberikan hak kepada perempuan atas kesehatan reproduksinya, dan melindungi perempuan dari aborsi tidak aman, selama ini terjadi meskipun secara hukum dilarang. Demikian juga, Undang-undang Perlindungan Saksi, UU Revisi KUHP, dan amandemen UU Kewarganegaraan yang isinya mendiskriminasi perempuan, belum juga dilakukan.


Deskripsi keadaan perangkat perundang-undangan diatas, tak lepas dari keterpurukan dimensi kenegaraan yang lainnya. Dunia pendidikan nasional, sebagai salah satu perangkat kebangkitan bangsa, secara komprehensif belum mendukung. Padahal, pendidikan merupakan proses kemanusiaan menuju terbentuknya manusia bernilai secara kemanusiaan, serta dianggap mampu memegang peranan kuat untuk menyelamatkan generasi bangsa, seakan jauh dari akar kultur pendidikan itu sendiri. Implikasinya, tingkat pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan masih tinggi. Sistem dan kurikulum pendidikan Indonesia yang meniscayakan output-nya berprofesi sebagai buruh, pelayan dan pembantu rumah tangga, ternyata menjadi satu kelemahan yang nayata. Penididikan seolah menjadi media yang mudah untuk mengeksploitasi perempuan tanpa memedulikan hak mereka sebagai manusia laiknya laki-laki. Padahal fakta menunjukkan, buruh pabrik di negeri ini hampir 90 persennya adalah perempuan.


Keterpurukan pendidikan Indonesia secara fenomenal memang tampak di depan mata. Polarisasi standar keberhasilan dan kriteria pekerjaan ideal terlatak pada tingkat lulusan pendidikan. Imbasnya, angka pengangguran memuncak, anak jalanan dan kaum miskin semakin meningkat. Tentunya, upaya pembenahannya adalah membuat infrastruktural dan suprastruktural pendidikan tertata secara terencana dan terpadu. Termasuk political will pemerintah dalam bentuk subsidi biaya pendidikan yang murah bahkan gratis. Tapai yang tampak sampai hari ini, kurikulum pendidikan kita –seperti halnya ilmu penngetahuan sejarah—, masih menempatkan perempuan pada the second position dan inferior dibanding laki-laki.


Media Massa dan Pembelaan Perempuan


Pandangan yang menganggap semua masalah kejahatan harus diatur dalam suatu kodifikasi hukum seperti KUHP atau KUHAP adalah pandangan yang sempit dan ketinggalan zaman serta tidak sesuai dengan tuntutan yang ada. Karena pada era modern dimana pembagian kerja semakin kompleks, kebutuhan akan adanya peraturan-peraturan khusus yang bisa menjangkau permasalahan di lapangan semakin mendesak untuk segera diakomodir. Masalah kekerasan dalam rumah tangga perlu diatur secara khusus dalam sebuah UU, mengingat konteks permasalahannya yang juga spesifik.


Sistem hukum di Indonesia masih belum sensitif dalam memandang persoalan perempuan. Sebaliknya, dalam banyak hal sistem malah memfasilitasi embrio-embrio kekerasan terhadap perempuan, seperti misalnya yang terjadi pada undang-undang perkawinan. Atas dasar itu, perempuan korban kekerasan selalu dihadapkan pada posisi yang sulit atau bahkan justru sebagai pihak yang disalahkan. Sebagai contoh, misalnya, pada kasus perkosaan, perempuan yang menjadi korban pemerkosaan akan selalu menghadapi kondisi dilematis.


Bersamaan dengan penyadaran akan hak-hak perempuan, diharapkan muncul inisiatif untuk memperjuangkan terpenuhinya hak-hak tersebut. Termasuk melakukan penggugatan atas larangan memperoleh akses-akses ekonomi dan pengembangan potensi diri yang terjadi di lingkup rumah tangga atau domestik. Tetapi tentu saja upaya ini tidak bisa berjalan sendiri secara sempurna tanpa upaya pendukung lain. Maka peran media massa menjadi penting di sini.


Media massa secara terus-menerus membangun wacana mengenai penguatan hak-hak perempuan dengan melakukan blow up terhadap isu kekerasan berbasis gender. Blow up di tingkat media ini akan menjadi jembatan yang efektif untuk memunculkan dan membangun solidaritas di kalangan perempuan itu sendiri. Sebab, pada kenyataannya, media massa sering dituding sebagai perangkat yang mengeksploitir perempuan secara fisik maupun psikis. Di mata media massa, se-idealis apapun, dunia perempuan masih menjadi andalan pasar, misalnya untuk menaikkan oplah dan tetap survive.


Bersamaan dengan itu, upaya menumbuhkan kesadaran Hak Asasi Perempuan (HAP) di tingkat akar rumput harus tetap dilakukan seiring penguatan-penguatan kelembagaan kaum perempuan. Ini berarti mengajak kaum perempuan untuk meningkatkan posisi tawar dengan cara membentuk dan memperluas jaringan atau organisasi perempuan. Bagaimanapun juga, organisasi adalah cara yang efektif dalam memperjuangkan kepentingan. Dalam konteks ini, makna solidaritas yang terbentuk lewat blow up media massa harus dapat menghilangkan sekat-sekat yang menghalangi penguatan kelembagaan organisasi perempuan. Bukan rahasia lagi apabila diantara kaum pergerakan perempuan, di antara LSM-LSM yang mengaku mengadvokasi persoalan perempuan justru terjebak dalam dunianya sendiri-sendiri, saling mengklaim bahwa mereka yang paling benar. Apabila kondisi ini dibiarkan, bukan tidak mungkin solidaritas yang sedang digalang berubah menjadi solidaritas semu (pseudo solidarity) yang tidak terbangun di atas pemahaman yang sama menyangkut visi politik keperempuanan.


Totalitas organisasi sosial, ekonomi, dan politik, untuk memahami subordinasi perempuan dalam masyarakat juga perlu ditingkatkan. Dalam subordinasi ini, tidak bisa melihat perempuan saja, tetapi juga memperhatikan perempuan dalam kostruksi sosial yang memberi peran tertentu kepada laki-laki dan perempuan. Laki-laki yang menaruh perhatian dan memiliki keprihatinan pada keadilan dan nasib perempuan, dapat turut serta dalam memperjuangkan kepentingan perempuan.


Sejarah mencatat bahwa masyarakat manapun sangat mendambakan kehidupan yang adil dan damai. Namun kenyataannya, peperangan dan penindasan serta ketidakadilan makin merajalela. Penjajahan dan penindasan dikemas dengan rapi dalam bentuk ideologi di bawah sadar, sehingga menjadi semu seolah-olah bukan lagi penjajahan dan penindasan.


Alhasil, segala upaya untuk perbaikan problem keperempuanan di Indonesia, tanpa melihat konstelasi global antara dunia pendidikan, perangkat hukum dan peran media massa, akan mengalami jalan buntu. Artinya, penyetaraan posisi perempuan dan laki-laki pada tataran pendidikan, hukum, dan hak-haknya, harus sama tanpa diskriminatif.

Tidak ada komentar: